31 Mei, 2009

"Ngerumpi" ala Teater Sahita, dalam 'Gathik Glinding'

Oleh: Syahrul Qodri



Pagi itu, ibu kostku menggedor pintu kamar teman sebelah, tapi kebetulan teman yang punya kamar sedang tidak ada di tempat. Mungkin ia ingin menagih pembayaran kost, tapi berhubung teman itu tidak ada, ia mengomel tidak karuan. Bersamaan dengan itu, seperti biasanya pada waktu yang relative sama, pedagang sayur keliling melewati gang sempit depan kost dan mengundang kehadiran dari beberapa ibu-ibu tetangga yang ada di sekitarnya.

Ocehan ibu kostku terus berlanjut bersama taman-teman sebayanya, menyalahkan anak kost yang sering kali telat membayar kewajibannya, dan tidak jarang banyak pula anak kost yang melarikan diri, dan membuat masalah-maslah yang meresahkan. Pembicaraan ibu-ibu itu merambah ke masalah anaknya masing-masing yang sekolah atau kuliah, lalu membutuhkan biaya sekolah. Ibu yang satu menimpali dengan berharap pada suaminya yang akan datang dari jauh. Ibu yang lain bicara soal anak gadisnya yang ingin menjadi artis sinetron, atau jadi model iklan, disambut dengan ibu yang lain dan membahas masalah warisan, sementara ibu yang lain…, dan ibu yang lainnya lagi…,

Aku terpaku di kamar mendengar celotehan ibu-ibu itu sambil menghisap rokok dalam-dalam, meneguk segelas kopi, mendesah pelan, lalu pikirku pun melayang entah ke mana.

Serasa bermimpi, tiba-tiba aku hadir di sebuah pesta sederhana disuguhi oleh nikmatnya minuman hangat. Aku mengambil segelas kopi dan meneguknya perlahan. Pandangan mata liarku tertuju pada dua sosok gadis cantik luar biasa. Matanya begitu indah, dihiasi kulit wajah yang jernih, rambut bergelombang tertata, lalu dengan senyum lembut menawarkan beberapa bungkus rokok. Ia mengenakan baju merah menyala. Di dadanya tertulis Jarum Super. Dalam hati kubergumam, sungguh sempurna Tuhan menciptakan permempuan-perempuan ini.

Saat khayalku kian jauh melayang, tempak lagi wajah ibu-ibu rumah tangga yang sedang melakukan aktivitas-aktivitas keseharian. Tapi ibu-ibu yang ini hanya lima orang, memiliki kostum dan karakter yang berbeda dengan ibu kostku atau teman-teman sebayanya itu. Mereka menjalani aktivitasnya sambil nembang karawitan Jawa yang hingga kini masih mereka hidupkan, meski kadang tembang yang didendangkan terdengar unik dan lucu, mengundang gelak tawa yang luar biasa.

Tembang-tembang yang didendangkan terus berlanjut diiringi tarian-tarian sederhana yang unik dan dibarengi irama musik yang berasal dari lantunan suara-suara nyaring mereka sendiri. Meski badan sudah sedikit berisi, dan usia sudah kian menua, namun gerakan tarian itu begitu kompak, goyangan tubuh mereka begitu lembut, lemah gemulai, layaknya penari puteri remaja cantik yang mampu menyedot perhatian siapa saja yang melihatnya.

Aku masih menikmati batangan rokok dan segelas kopi di sampingku, sambil memperhatikan sekelilingku yang semakin riuh oleh gelak tawa. Gelak tawa yang kian riuh itu ternyata berasal dari orang-orang yang cukup terkenal, seperti Butet, Jaduk, Mas Ong, Mas Besar, para aktris idola dari Teater Garasi, dari komunitas teater dan tari lainnya, dan banyak lagi, hampir 500-an orang melihat ibu-ibu itu menari dan nembang.

Seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya, mereka kembali ngerumpi, membicarakan banyak hal, dimulai dari suami masing-masing yang mereka banggakan. Seorang ibu menunjukkan kemampuan suaminya yang menjadi Ketua RT. Sosok Ketua RT adalah pejabat yang sangat berjasa meski berada di tingkat level bawah. Ocehan-ocehan itu tentu nyerempet kepada nuansa ataupun praktek politik yang mereka lakukan, seperti membantu orang-orang terdekat, memberikan sumbangan atau lainnya dengan tujuan untuk “menarik simpati” agar terpilih menjadi ketua RT, persis seperti yang dilakukan oleh para calon legislative yang memberikan sumbangan secara besar-besaran dan habis-habisan kepada masyarakat agar mereka terpilih. Mungkin beruntung bagi yang terpilih, tapi bagi yang tidak, tentu mengalami beban yang luar biasa, sehingga tidak sedikit yang mengurung diri di RSJ. Atau bisa sama layaknya elite politik kita di level pemerintahan yang bertarung pada taraf “pencitraan” semata, tanpa esensi kerja yang lebih nyata untuk memperbaiki bangsanya.

Harus diakui, ini adalah sebuah rumpian yang cerdas, mendidik, dan tentunya sarat dengan makna yang bisa ditangkap melalui berbagai perspektif dan bisa diterjemahkan dengan berbagai interperatif, serta tidak luput pula mengundang gelak tawa, menghibur siapa saja yang mendengarkan ocehan mereka.

Ambil satu contoh ocehan mereka yang membahas masalah “burung”. “Burung” bisa diartikan sebagai “burung” sesuai dengan realita yaitu binatang yang bisa terbang, bersayap, dan berekor, karena memang mereka tengah memegang burung-burung yang terbuat dari kertas. Tetapi burung yang dibicarakan menjadi “aneh” ketika mereka menyadari, pada burung–burung itu terdapat gambar-gambar, atau ada tulisan-tulisan, lalu bentuk burung yang besar dan kecil, ada yang panjang dan pendek, ada yang kaku dan lemes, ada yang suka kelayapan terbang kesana-kemari, bahkan ada yang kejam dan sadis.

Hal yang lebih aneh bila kata “burung” itu dilekatkan pada kata “suami”, menjadi “burung suamiku”, lalu berkembang menjadi pemikiran, bagaimana menjaga burung itu agar tidak terbang kemana-mana, dan hanya boleh hinggap di satu tempat saja. Pernyataan-pernyataan tentang “burung” terlontar dan mengalir, membuat banyak orang tersindir, poligami dan polihandri menjadi satir, namun tentu saja bisa menimbulkan ledakan-ledakan yang mengalahkan petir.

Gunjingan terus berlanjut. Kini giliran teman mereka sendiri yang menjadi sorotan. Ada sikap-sikap yang mereka tidak sukai dari temannya yang kini memiliki kelebihan dibandingkan mereka, entah itu berupa materi ataupun kelebihan lainnya. Di satu sisi, gunjingan itu kadang memiliki kebenaran relative jika bersumber pada kenyataan-kenyataan hasil dari pengamatan mereka, atau berangkat dari apa yang mereka rasakan. Kelebihan dan kekurangan itu memang selalu melekat pada setiap manusia, seperti roda yang berputar, kadang bisa di atas, kadang berada di bawah.

Seiring waktu yang terus bergerak, hidup pun merangkak. Usia seseorang kian menua, lalu bergulirlah kehidupan itu menciptakan perubahan-perubahan yang kadang menyenangkan, tetapi juga kadang menyakitkan. Perubahan itu bisa menyenangkan jika apa yang diharapkan bisa tercapai, tapi di sisi lain bisa menyakitkan jika apa yang diinginkan direbut oleh orang lain yang lebih muda, yang lebih mampu, dan mungkin pula lebih menggairahkan.

Ibu-ibu itu semakin deras menunjukkan rasa kecewanya, berharap untuk selalu dapat perhatian dari orang lain, terutama dari orang-orang yang berada di sekitarnya, di lingkungannya, atau mungkin dari bangsanya. Usia yang kian menua, tidak mengharuskan kita untuk meminggirkan mereka. Mungkin yang muda bisa menggantikan posisi-posisi tertentu untuk menciptakan perubahan yang lebih, tapi bukan berarti kita harus mengusir dan mengasingkan mereka, melainkan justru harus banyak menghormati dan belajar bersama menuju ke arah yang lebih baik guna kebaikan dan kedamaian bersama.

Ibu-ibu di depanku itu membuktikannya dengan tampil menari, menunjukkan gemulai tubuhnya, kelembutan gerakannya, serta kecerdasan ocehan-ocehannya, dan sekitar 500-an orang bertepuk tangan riuh menggemakan decak kekaguman buat mereka mereka.

Kembali kunikmati kopi yang masih sedikit tersisa di gelas plastic sambil menyalakan rokok yang tinggal satu biji. Pandangan mataku liar dan tajam mencari gadis yang masih duduk manis di kejauhan sana. Ah, ia masih duduk di situ, dan kecantikan serta keanggunannya membawa fikirku kepada para ibu-ibu yang sedemikian cerdas menungkapkan berbagai peristiwa ‘hanya’ melalui rumpian sederhana.

Dalam hati kubergumam, hari ini mungkin dua gadis itu begitu istimewa, namun entah beberapa tahun lagi, akan digantikan oleh gadis yang lain, dan akan terus begitu. Lambat laun, ia akan menjadi sosok ibu-ibu, usia menua, namun akankah terpinggirkan? Akankah mereka yang begitu sempurna kini akan tersingkir oleh generasi berikutnya? Atau, …? Bukankah sebaiknya kita mencoba memahami fenomena alamiah ini untuk bisa saling mengerti untuk saling mengisi, lalu lahirlah rasa saling menghormati, saling memberi kasih sayang dan tergapainya harapan, dan akhirnya tercipta keharmonisan dan kedamaian bagi semuanya.

Tiga karakter perempuan yang berbeda kucermati hari ini, namun tidak bisa dipungkiri mereka memiliki kesamaan lahiriah, dan “menuntut perhatian kita”, baik dari kalangan muda ataupun tua, kalangan pria muda ataupun bapak-bapak, kalangan pejabat atau rakyat biasa, kelompok kesenian atau pengusaha, dan semua tanpa terkecuali.

Kopi di gelasku kini habis, bersamaan dengan rokok pada isapan terakhir dan kumatikan perlahan. Kutengadahkan kepalaku seraya berbisik kepada Tuhan, betapa Sempurna Engkau menciptakan alam dan isinya dengan berbeda-beda untuk bisa menyatu dalam satu kondisi tertentu dan pada akhirnya akan menghadap pula pada Yang Satu.


Salutku buat pementasan Teater Tari Sahita 'Gathik Glinding' Sabtu, 30 Mei 2009 di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Sahita merupakan sebuah kelompok teater tari yang beranggotakan lima orang perempuan. Dibentuk tahun 2001 dengan dasar tari, teater dan kemampuan vokal yang baik, Sahita bisa dibilang sangat produktif berkarya, dengan respon yang sangat baik di lingkungan seni pertunjukan maupun masyarakat umum. Berbagai persoalan dari hal-hal yang sederhana serta keseharian yang diangkat mampunya menjadi fenomena yang universal dan aktual. Selain memproduksi karya sendiri, Sahita juga aktif mendukung dan mengikuti berbagai lokakarya dan pertunjukan bersama kelompok kesenian lain, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sumber dan artikel terkait:

http://www.facebook.com/events.php?ref=sb#/event.php?eid=87569485905

http://artistmate.com/event/teater-tari-gathik-glindhing-oleh-kelompok-sahita-di-teater-salihar

http://www.tempointeraktif.com/hg/panggung/2009/03/24/brk,20090324-166316,id.html

http://persinggahan.wordpress.com/2009/03/22/gathik-glinding-yang-cerewet/

01 Mei, 2009

Antara Tamu yang Terhormat dengan “Keluarga TOT” Gandrik

M. Syahrul Q




Seperti biasanya, aku sediakan waktu untuk mampir di salah satu toko buku di Shopping Center Yogyakarta. Aku ingin mencari satu buku yang saat itu sangat penting untuk kujadikan referensi. Tapi kok agak aneh, hari itu mereka tutup cepat sekali (tidak seperti biasanya, jam 5 sore). Untung aku bisa menemui ibu langganan tempat biasanya belanja buku.
“Waduh, Mas. Kita mau segera tutup nih. Kita mesti tutup sampai seminggu” Kata ibu itu.
“Memangnya kenapa, Bu?” Tanyaku heran.
“Besok kan ada peresmian Taman Pintar di sebelah oleh pak SBY. Pak SBY mau datang ke sini lho Mas.” Wajah ibu sedikit berseri, seperti senang kedatangan tamu terhormat, tapi beberapa saaat kemudian, ia melajutkan dengan nada lesu, “…tapi kita mesti tutup untuk beberapa hari, Mas.”
“Ooo…., sabar, Bu. Itu demi pengamanan kepala Negara.” Jawabku datar, mencoba menghibur kelesuan ibu tadi.

Aku jadi teringat waktu aku SD dulu, peresemian sebuah waduk di pinggiran kotaku, oleh presiden Soeharto. Teman-teman dimintai sumbangan masing2 Rp.1000,- untuk membeli bendera dan transport pergi ke lokasi. Waktu itu, uang Rp.50,- saja cukup jadi uang saku sehari, dan membeli jajanan. Tapi karena itu adalah perintah, meski berat, harus dilaksanakan. Dengan merengek-merengek aku minta uang seribu ke ibuku, sampai nangis dan mengancam untuk tidak sekolah lagi. Dengan susah payah, ibu mencarikan pinjaman kesana kemari. Setelah dapat, aku langsung berangkat ke sekolah. Di sana teman-teman sudah kumpul, dan siap berangkat ke lokasi penyambutan. Menggunakan bus kecil, kamipun berangkat, lalu diberhentikan pada jarak sekitar 5 KM dari lokasi. Di sana sudah banyak siswa-siswa dari SD lainnya membawa bendera merah putih.

“Kita di sini!” perintah ibu guru.
Itu artinya kita hanya dapat melihat bapak presiden lewat menggunakan mobil mewah kepresidenannnya. Waktu itu, sekitar pukul 12 siang. Matahari menyengat keringat. Tidak sedikit siswa-siswa SD yang jatuh pingsan karena panas dan berjejalan. Dan itu, “demi penyambutan kedatangan presiden”. Beberapa lama kemudian, iring-iringan mobil dengan bunyi sirine pun melaju kencang di depan mata. Para siswa SD melambai-lambikan benderanya. Entah, apakah orang yg di dalam mobil peduli atau tidak. Setelah itu, pulang.

Aku bergumam dalam hati, hanya itu? Begitu susahnya ibuku mencari uang pinjaman, hanya untuk melihat presiden lewat? Lalu gumamanku itu terungkap lagi, pada bulan Desember 2008 lalu. Hanya untuk kedatangan seorang presiden, toko-toko buku harus tutup? Bayangkan, berapa banyak toko buku di Shopping Center Yogya, yang harus tutup. Bukan hanya toko buku, tapi juga toko-toko lainnya. Berarti, akan berapa banyak orang yang menganggur, tidak bekerja mencari nafkah, hanya karena kedatangan presiden?

Berbagai alasan pembenaran kita dengar, terutama masalah keamanan. Tetapi ini tentulah sebuah pemaksaan. Pemaksaaan terhadap pembenaran, meski kita tidak menyukainya.

Begitulah kalimat yang ingin disampaikan oleh István Örkèny dalam naskahnya yang berjudul Tóték, yang dipentaskan semalam (29 April 2009)oleh Gandrik menjadi Keluarga TOT. Agus Noor mengatakan, Keluarga Tot boleh dibilang merupakan salah satu karya agung (masterpeace) yang pernah dihasilkannya. Ia dikenal sebagai penulis yang bergaya satir dalam melihat situasi masyarakat. Beberapa karyanya, antara lain novel dan lakon, seperti, Ocean Dance (1941), One Minute Stories, yang merupakan buku kumpulan cerita paling populer yang dihasilkannya dengan gaya absurd dan grotesque yang khas dirinya. Ia sempat tinggal di Moskow, di lingkungan buruh, dan menuliskan lakon Voronesh, sebelum kemudian ia kembali menetap di Hungaria tahun 1946. Ia kemudian menjadi penulis lakon terpenting Hungaria, ini didibuktikan ketika pada tahun 2004 namanya diabadikan menjadi nama gedung teater di Budapest: Örkeny Theater.

Secara pribadi, saya tidak mengetahui, apakah naskah asli Tóték berbau komedian atau tragedik, namun naskah itu di tangan Gandrik menjadi sesuatu yang sangat unik. Saya melihat, Gandrik membawakan keluarga TOT dengan menginterpretasikan pada persoalan kekinian bangsa ini, meskipun latar naskah tersebut terjadi pada saat perang dunia II. Hal ini bisa jadi menjadi nilai lebih bagi pementasan ini, meski Eka Kurniawan merasa gelisah akan hal itu.

Mari kita lihat, tokoh Pak Pos (sebagai adegan awal) membawa beberapa surat, yang harus segera tiba ke penerimanya. Pak pos yang seolah memiliki kekuasaaan atas keberadaan surat-surat itu, deng leluasa membaca isi surat, melihat apa yang terjadi, bahkan tidak jarang membuang beberapa surat (ke penonton). Hal ini adalah cerminan kepada kita bahwa masyarakat kita sedikit sekali yang memiliki tanggung jawab dan bertanggung jawab terhadap tanggungan atau tugas yang diberikan itu. Berbagai alas an pembenaran dari pak pos selaku penguasa surat, sekedar membenarkan diri atas apa yang dia lakukan.

Gelak tawa tedengar riuh dari penonton. Gandrik memang ahlinya menciptakan suasana konyol, unik, lucu, tapi cerdas. Saya tidak tahu, apakah penonton sadar, mereka juga tengah menertawakan prilaku masyarakat kita yang note benenya tidak lebih baik dari pada pak pos itu. Karena bagaimanapun, seperti yang dikatakan di atas, Gandrik mampu membawa naskah ini pada kondisi kekinian negeri ini, dengan menampilkan berbagai kritikan kepada para politisi, pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya.

Sekitar 2,5 jam lebih, pentas berlangsung. Cukup melelahkan, tetapi tidak membosankan. Berbagai peristiwa dimunculkan, menggambarkan dua budaya yang tergabung dalam satu lakon, budaya Hongaria dan budaya Jawa. Hongaria adalah semacam ‘meeting point of cultures’. Budaya Hongaria tidak hanya mampu mempertahankan keaslian nilai-nilai budayanya, namun dapat juga dengan pintarnya menyeleksi pengaruh budaya lain. Walaupun sempat menjadi salah satu satelit Uni Soviet di masa Perang Dingin, Hongaria telah terbukti mampu bangkit dan menjadi negara eks-komunis yang paling sukses dalam hal pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi (http://sherwintobing.com/). Sedangkan budaya di Jawa atau Indonesia pada umumnya masih bolong sana sini. Sehingga naskah yang ditulis oleh István Örkèny sekitar setengah abad yang lalu, masih terasa menggelitik saat ini di Indonesia.

Saya menangkap peristiwa yang terungkap adalah sebuah pelayanan bagi seseorang secara berlebihan, dan pelayanan itu dilakukan karena keterpaksaan, bukan kerelaan apalagi kewajiban. Kegilaan yang terjadi pada keluarga TOT karena berada dalam tekanan sang Mayor, yang memiliki kuasa atas keluarga tersebut, meski ia hanyalah tamu di rumah itu. Lalu, bagaimana kita menyikapi orang-orang yang datang ke Indonesia? Apakah kita penah bertanya, kitamelayani mereka dengan baik atau justru kita merasa tertekan atas pelayanan tersebut?

Tentu kita ingat betapa menunduknya orang-orang pemerintahan Indonesia ketika Bush presiden Amerika mendarat di Bandung beberapa waktu lalu. Atau Hillary Clinton yang mengunjungi SBY, lalu serta merta memberikan nasihat (perintah) untuk menangani masalah Papua. Bukankah kita yang punya rumah, dan semestinya kitalah yang mengurus rumah kita sendiri, tentu dengan penuh tanggung jawab dan mendahulukan kepentingan bersama. Sebegitu bodohkah kita, sampai masalah intern rumah tangga kita harus ditangani oleh orang lain?

Dalam perenungan semacam itu, aku berangkat pulang. Setiba di rumah, sekitar jam 12 malam, seorang teman datang berkunjung. Sempat heran, kok bertamu tengah malam begini? Dengan senyum memelas, temanku mengatakan, “Boleh saya menginap beberap hari di tempatmu?”

29 April, 2009

Plencung Two Teater Ruang

Syahrul Q

Susuri jalan basah, karena gerimis baru saja usai. Hingar-bingar kota Jogja yang katanya kota budaya, dipenuhi oleh kerlip lampu kota ala modern. Sepanjang jalan, terlihat toko-toko berjejeran, berjualan barang-barang ala modern pula. Pemandangan yang paling banyak terlihat adalah counter-counter HaPe, berjualan pulsa serta berbagai pernak-pernik accessories HaPe yang saat ini telah menjamur, bahkan seolah menjadi kebutuhan pokok melebihi kebutuhan makan.

Lampu merah menyala di traffic light. Beberapa kendaraan berhenti dengan patuh. Seorang pengamen jalanan menyanyikan lagunya setengah, lalu mendongakkan telapak tangannya buru-buru, karena ada dering HaPe di kantong celananya. Aku tidak terlalu peduli, karena khawatir, gerimis sepertinya akan turun lagi, dan jika motorku kena hujan, alamat macet dan tidak akan sampai tujuan.

Beberapa saat kemudian, akhirnya tiba di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja, Kasihan Bantul. Sebuah tempat yang agak sepi, dan jauh dari hiruk-pikuk kota Yogyakarta. Di sana, aku bertemu dengan orang-orang hebat yang melibatkan diri dalam dunia kesenian. Sayangnya mereka tidak mengenalku, karena memang aku tidak terkenal seperti mereka, dan itu tentu membuatku lebih leluasa memperhatikan semua peristiwa yang terjadi, dan tidak menuntutku lebih banyak ngobrol sana-sini, dari pada mempersiapkan diri untuk menyaksikan Teater Ruang.

Ya. Bagiku, menonton teater harus memiliki persiapan tersendiri, mengumpulkan semua energi, kemampuan intelektual berbaur pengalaman, karena menonton teater tidak seperti menonton hiburan semata. Menonton teater adalah melebur dalam cerminan keseharian kita sendiri, dan setelah pulang nanti, kita bisa merenung kembali, lebih banyak berfikir, lalu memberi perbaikan pada diri yang tentu penuh dengan alpa.

Gelap. Lampu panggung mati total. Kerlip-kerlip lampu merah kecil hanya berasal dari para photographer yang siap mengambil gambar. Ada juga sinar dari sebagian cewek-cewek yang memainkan HaPe, karena tidak terbiasa dalam keadaan gelap seperti itu. Sejenak kupejamkan mata, menghirup suasana mistis yang sepertinya datang menghampiri. Sempat aku menduga, Teater Ruang akan mementaskan teater yang berbau mistis.

Sekitar 6 cahaya korek (kayu) api menyala bersamaan di panggung. Lalu mati. Korek api menyala lagi. Mati lagi. Menyala, kemudian mati lagi. Di belakang, di antara penonton, sebuah korek api menyala, lalu mati. Kembali di panggung korek api menyala berkelebat-kelebat, lalu mati. Disambut dengan korek api dari anak kecil yang berada di antara penonton. Seperti itu berlangsung beberapa saat, lalu mati.

Kembali kupejamkan mata, mengingat masa kecil dulu yang senang sekali memainkan korek api saat listrik mati. Anehnya hingga saat ini, jika listrik mati, kita selalu membutuhkan korek api, lalu menyalakannya, agar suasana gelap kembali tersinari. Gelap, terang, itulah kehidupan kita. Dan saat itu, aku berada di antara keduanya.

Anak kecil yang menyalakan korek api tadi bergerak, melangkah menuju panggung. Ia menyanyikan lagu jawa kuno, seperti mantra-mantra kesedihan atau kegalauan. Jujur, aku kurang mengerti kalimat-kalimat itu (karena aku bukan orang Jawa), namun lantunan lagu itu mampu menyedot bulu kudukku, merinding.

Anak kecil itu menyalakan api (seperti obor) di panggung. Dan hanya itu cahaya yang digunakan selama berlangsungnya pementasan. Kembali anak kecil bersuara (menggunakan bahasa Jawa). “…mas besar, aku ini sopo? Mas besar.. mas besar… mbokku sopo… mas besar mas besar…bapakku sopo? Mas besar mas besar…”

Pertanyaan yang sangat filosofis dilontarkan oleh anak sekecil itu. Mempertanyakan kembali hakikat kehidupan seseorang, layaknya Socrates atau bahkan Thales yang sekitar ratusan sebelum Masehi mempertanyakan hal yang sama. Pertanyaan itu segera memenuhi otakku yang mulai pening. Pertanyaan itu sering kali kumunculkan di berbagai kesempatan, namun sangat sedikit yang bisa menanggapinya dengan serius. Dan anak kecil itu menyadarkanku, betapa bangsa ini jarang sekali mempertanyakan hakikat keberlangsungan hidupnya.

Pementasan terus berlangsung dengan berbagai eksplorasi tubuh yang luar biasa dari para pemain. Mereka melakukan berbagai aksinya dalam suasana remang-remang itu. Cahaya obor yang terus menyinari seisi panggung sangat membantu membentuk symbol-simbol yang ingin disampaikan oleh sutradara (Joko Bibit), tanpa dibantu oleh lighting elektrik lainnya.

Dialog berikutnya kembali terlontar dari actor kecil itu. Masih menggunakan bahasa Jawa, mengemukakan peristiwa terjadinya banjir di berbagai daerah, seolah peristiwa banjir itu sedang ia alami sendiri. Suara teriakan anak kecil yang histeris minta tolong, memanggil-manggil mbok dan bapaknya, membuatku semakin merinding.

Peristiwa banjir memang sering kali terdengar di media, bahkan sangat sering, seolah menjadi sarapan pagi. Banjir di Jakarta, peristiwa Situ Gintung, menguapnya sungai Bengawan Solo, banjir di daerah Sumatra, di Jawa, dan berbagai daerah lainnya selalu terjadi, berulang kembali, terjadi lagi, dan tidak pernah ditangani secara serius. Banjir kembali terjadi, sumbangan berupa uang dan sembako berdatangan (kadang telat, terutama dari pemerintah), setelah itu selesai. Tidakkah terpikir bagaimana menanganinya agar tidak terjadi banjir lagi? Berbagai elemen melakukan penelitian, lalu hasilnya kosong. Kalupun ada usul yang bagus, tidak akan digubris, selama usul itu tidak menguntungkan bagi pemerintah. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah tidak ada dana, tapi untuk kampanye yang menghabiskan ratusan triliun selalu ada.

Kembali ke pementasan Teater Ruang. Yang menjadi aneh adalah, banjir yang diungkapkan anak itu bukan ‘hanya’ banjir dari air, tetapi banjir HaPe, banjir TV, banjir Kulkas, banjir motor, banjir mobil, dan banjir berbagaio modernitas lainnya. Dan itu disebabkan oleh jebolnya tanggul atau bendungan yang dimilikinya. Tentu saja, tanggul yang dimaksudkan juga bukan semata tanggul biasa, tetapi filter nurani dalam menerima berbagai kebudayaan yang masuk dari luar.

Sekilas tergambar betapa ngerinya tanggul jebol di Sidoarjo yang membuat Lumpur Lapindo menenggelamkan perkampungan sekitarnya. Sayangnya, peristiwa itu tenggelam dari media yang lebih sibuk mengurusi calon pemimpin negeri ini yang sibuk mencari koalisi dalam meraih kekuasaan. Sementara di penampungan pengungsi di sana, masih harus bersama-sama menggunkan fasilitas umum yang disediakan ala kadarnya. Tidak jarang terdengar teriakan-teriakan dari para pengungsi yang sudah semakin stress. Anehnya media lebih suka menyoroti stressnya para caleg gagal.

Jebolnya tanggul dalam menyaring budaya luar yang masuk ke negeri ini membuat para generasi kita semakin haus akan produk-produk luar negeri yang sangat menjanjikan itu. Gonta-ganti HaPe menjadi trend. Bahkan Wapres kita tidak mau kalah, segera belajar menggunakan blackberry, ingin menyaingi Obama yang menang pemilu kemarin, meski Wapres kita masih sedikit GATEK (gagap teknologi).

Singkat cerita, pentas pun usai. Para penonton pulang dengan membawa kenangan masing-masing. Para wartawan sibuk wawancara dengan para pemain dan sutradara. Aku sendiri masih terpaku, merenung, dan tidak bisa bergerak, karena rasa merinding itu masih menyelimuti. Hingga para petugas panggung hendak menggulung tikar, baru aku menyadarkan diri untuk bengun dan pulang.

Di jalan, gerimis masih mengancam. Hal ini menuntutku harus segera sampai di rumah. Tapi, traffic light berwarna merah menghalangi laju motorku. Kembali kumelihat beberapa pengamen jalanan, menyanyikan lagunya setengah, lalu mencondongkan tangan berharap ada pemberian dari pengendara yang terjebak lampu merah. Di pinggir jalan, beberapa pengamen lain sibuk sms dan memainkan HaPe. Di sepanjang jalan, kota Yogyakarta, yang katanya kota budaya, masih terlihat sangat ramai, karena kerlap-kerlip lampu kota dan dari toko-toko penjual produk, masih buka.

Dalam hati kubergumam, “ah.., Teater ruang. Ruangmu sepi. Ruangmu hening. Tapi dari sepi yang hening itu aku merasakan kebanjiran pencerahan nurani.”

27 Maret, 2009

SENIMAN menjadi PRESIDEN?

Mari kita simak berita ANTARA berikut ini...,

Surabaya (ANTARA) - Tidak hanya Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir (SB) yang datang berkampanye di Jawa Timur, namun aktor kawakan Deddy Mizwar, pelawak Eko Patrio, dan pelawak Mandra pun "menyaingi" petinggi Parpol yang sudah lama berkecimpung dalam dunia perpolitikan itu. Bahkan, Deddy Mizwar yang merupakan aktor yang dikenal dengan sinetron "Kiamat Sudah Dekat" itu datang ke Surabaya untuk menerima dukungan 13 partai politik (Parpol) sebagai Presiden RI.

Para pengurus 13 Parpol nonparlemen di Jatim itu menandatangani dokumen Deklarasi Koalisi Merak (Mengutamakan Rakyat) di Surabaya, untuk mengajukan Deddy Mizwar dan Saurip Kadi sebagai pasangan Capres-Cawapres.

"Kami berharap koalisi ini bisa memenuhi parliamentary threshold (ambang batas perolehan kursi di DPR) sebanyak 2,5 persen, sehingga pasangan Deddy-Saurip bisa kami ajukan sebagai Capres-Cawapres," kata Siti Rohani, selaku Ketua Panitia Deklarasi Koalisi Merak.

Menurut dia, kalau saja Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memutuskan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen, mungkin partai-partai itu tidak perlu mengadakan koalisi.
"Seharusnya semua parpol berhak mengajukan calon sendiri-sendiri, apalagi ke-13 parpol ini tidak memiliki cacat dan tidak pernah menyakiti hati masyarakat. Beda dengan partai-partai besar yang kadernya duduk di lembaga legislatif," kata Rohani.
Sementara itu, Deddy Mizwar menegaskan, terbentuknya Koalisi Merak sebagai bukti keseriusan dirinya sebagai capres.
"Justru para pemimpin parpol besar yang tidak serius mencalonkan dirinya sebagai presiden karena masih menunggu Pemilu. Kalau kami, sejak awal sudah serius," kata pria berusia 54 tahun itu.

Keseriusannya terjun dalam politik praktis itu, lanjut dia, dilatarbelakangi oleh keresahan masyarakat terhadap situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya saat ini.
"Tapi yang perlu diingat niatan kami terjun ke dunia politik, bukan untuk mengejar popularitas dan kekuasaan. Kami hanya ingin menjawab keresahan masyarakat," katanya.
Dalam pencalonannya sebagai Presiden RI itu, dia menggandeng Saurip Kadi, purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal yang pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri.

Ke 13 parpol yang mendeklarasikan Koalisi Merak itu adalah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Kedaulatan, Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Nasional Indonesia Marhaen (PNI Marhaen), dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI).
Selain itu, Partai Pelopor, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), dan Partai Buruh.

Sumber : http://id.news.yahoo.com/antr/20090327/tpl-deddy-mizwar-dan-eko-patrio-saingi-s-cc08abe.html

Sebagaimana kita ketahui, rakyat Indonesia saat ini sudah sangat pesimis terhadap perkembangan bangsanya sendiri, terlebih lagi ketika banyak yg mengambil langkah GOLPUT dalam menyikapi berbagai perkembangan politik.

Pertanyaannya adalah, Mas Dedy kini hendak terjun..., (entah itu hanya sebatas WACANA, ataupun serius...), apakah ini menjadi suatu gejala akan adanya harapan baru di didunia perpolitikan Indonesia?
Semoga para seniman Indonesia dapat melihat ini, dan para mahasiswakritis terhadap segala yang terjadi, dan jangan sampai terjerembab ke dalam arus politik yang semakin busuk.

17 Maret, 2009

Teater Putih dalam Kenangan

PRESE


Kenangan tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh apa yang telah diperbuat. Apa yang diperbuat, tidak mengalir dengan sendirinya, tanpa adanya kesadaran untuk "mau" berbuat. Kesadaran tidak hinggap dengan tiba-tiba, tetapi ia kan datang saat kita bertanya dalam gelisah. Bertanya dalam gelisah, berarti kita sudi untuk berpikir, apa yang mesti diperbuat, dengan sadar, dan akhirnya, orang akan bertanya-tanya gelisah untuk mengukir kenangan baru ..., tentang kita.


LALECON



Hal ini berarti, kenangan itu mesti "dibuat"
Pahit manisnya, untuk kita teguk bersama lusa nanti...

EGON

04 Maret, 2009

PENELANJANGAN JIWA MANUSIA DALAM "INSPEKTUR JENDERAL" KARYA NIKOLAI GOGOL

oleh : Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)

Apresiasi sebuah drama sering dikategorikan sebagai bentuk pencerminan kehidupan masyarakat yang menjadi representasi kondisi sosial. Tidak sedikit drama yang isinya padat dengan kritikan-kritikan dan sindiran-sindiran terhadap isu perilaku masyarakat yang merajalela. Terkadang drama-drama tersebut sekaligus menjadi bentuk protes beberapa kalangan pada apa yang terjadi di kehidupan sosial masyarakat tertentu. Seperti drama Albert Camus yang berjudul Caligula berisi tentang kritikan terhadap sifat-sifat dasar manusia yang terlalu pasrah akan takdir sehingga membekukan harapan-harapan manusia itu sendiri dalam suatu kemajuan, dan drama Putu Wijaya yang berjudul DOR berisi tentang sindiran dan protes terhadap pemerintah dalam hal penegakan hukum yang tidak adil di Indonesia pada zaman orde baru.

Begitu pula halnya dengan drama komedi yang berbalut satire dari Rusia pada tahun 1836: Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol. Nikolai Gogol (1 April 1809 – 4 Maret 1852) adalah salah satu sastrawan Rusia pada akhir periode sastra romantik yang pada zaman Tsar menulis beberapa karyanya dalam bentuk karya sastra seperti drama sebagai bentuk sindiran dan kritikan juga penuh dengan ejekan terhadap pemerintah. Ia begitu apik sekaligus kocak. Karya-karyanya bersifat realis, biasanya diangkat dari fenomena kehidupan sosial yang ada di sekitar masyarakatnya dan sepenuhnya hasil rekaan pengarang semata.

1. Kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan
Drama ini (Inspektur Jenderal) menyajikan sindiran-sindiran dan gambaran perilaku birokrasi Rusia di bawah Tsar. Seperti pada tokoh-tokoh para pejabat dalam drama ini mulai dari walikota pengawas sekolah, hakim, pengawas lembaga-lembaga sosial, kantor pos dan bahkan tuan tanah lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada rakyatnya ketika ada seorang pemuda (Hleskov) yang dikira sebagai utusan dari pemerintah pusat (Tsar) datang mengunjungi daerah mereka. Mereka lebih sibuk menyelamatkan kepentingan mereka dan menopengi perbuatan kejamnya dengan berbagai cara.

Berbagai bentuk kejahatan mereka, telah membuat rakyat sengsara seperti korupsi, manipulasi, dan suka menindas rakyat jelata. Kekhawatiran dan kegelisahan melanda ketika mendengar kabar bahwa ada seorang Inspektur Jenderal dari kota Pyotrgrad datang ke wilayah mereka.
"Ini namanya baru celaka," keluh Ammos Fedorovich.
"Seolah penderitaan kita belum cukup berat," tambah Artemy Filippovich.
"Ya Tuhan, dengan tugas rahasia lagi," sambung Luka Lukich. (IJ: hal. 7)

Jika kedatangan tuan Inspektur itu datang secara terang-terangan tanpa ada yang ditutup-tutupi, mereka berpikir akan dapat mempersiapkan segalanya yaitu dengan merapikan bentuk-bentuk kekejaman birokrasi yang telah diperbuat dan juga dapat diadakan kompromi kepada ‘Inspektur tak dikenal’ itu dalam mengatasi permasalahan yang timbul. Di pihak lain, mereka telah berpikir jangan-jangan tanpa sepengetahuan mereka inspektur jenderal itu telah menemukan kebusukan dalam tubuh birokrasi. Menanggulangi hal tersebut, walikota (Anton Antonovich) memerintahkan seluruh jajarannya untuk secepatnya memanipulasi segala bukti tindak kejahatan mereka di berbagai bidang agar tidak tercium oleh Inspektur itu dan mereka pun terhindar dari musibah pelengseran jabatan yang dikiranya akan terjadi.

“Betul atau tidak, pokoknya tuan-tuan sudah kuperingatkan. Begini: Aku sudah membuat persiapan. Dan kalian kunasihatkan supaya melakukan hal yang sama. Terlebih-lebih kau Artemy Fillippovich. Tidak sangsi lagi, pejabat yang lewat itu pasti terlebih dahulu memeriksa lembaga-lembaga sosial yang berada di bawah departemen kita.” (IJ: hal. 10)

Kutipan di atas membuktikan bahwa seorang pejabat tertinggi di suatu wilayah dapat tergoyahkan dengan mudah hanya karena mendengar berita kabur mengenai kedatangan seorang pemuda yang tak dikenal yang dikiranya seorang Inspektur utusan pemerintah pusat (Tsar). Begitulah bukti sifat manusia sebenarnya yang digambarkan dari segelintir karakter pada tokoh-tokoh dalam drama Inspektur Jenderal.
Meskipun bergaya komedi satire, namun Gogol mampu membongkar dasar-dasar sifat buruk manusia dengan menelanjangi jiwa manusia yang sesungguhnya dipenuhi oleh unsur negatif. Manusia tidak lepas dari nafsu yang tidak habis jika peluang mendapatkan apa yang diinginkan terbuka bebas di depan mata. Gogol memperlihatkan begitu miskinnya moral manusia ketika dihadapkan pada satu kesempatan yang menggiurkan baik itu berupa materi atau pun jabatan tinggi. Bahkan untuk memperoleh semua itu, manusia bisa saja melakukan hal di luar dugaan misalnya menyiksa dan membunuh. Akan tetapi, drama ini sesungguhnya penuh dengan kekonyolan seolah Gogol mengibaratkan sejahat apa pun manusia pada dasarnya memiliki kecerobohan-kecerobohan yang dapat mengocok perut sehingga pembaca tidak merasa ada permasalahan serius dibalik cerita drama ini apalagi bagi pembaca yang masih awam.

2. Antara Realisme, Romantisme, dan Materialisme

Pasti sekiranya kita tidak menyangka dalam drama Inspektur Jenderal ini terdapat tiga aliran filsafat sekaligus di dalamnya, yaitu aliran realisme, aliran romantisme dan aliran materialisme. Aliran realisme ditunjukkan bahwa adanya penggambaran kehidupan sehari-hari yang jujur, obyektif, teliti, dan rinci dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan termasuk kebobrokan yang terjadi. Seolah-olah drama ini merupakan salah satu perwujudan representasi kehidupan sosial umat manusia pada suatu masa sehingga secara sadar dapat menyajikan fakta-fakta dan mendorong pembaca atau penonton untuk berpikir kritis. Misalnya: peristiwa Walikota beserta jajarannya yang melakukan tindak kejahatan di berbagai bidang terhadap rakyatnya (IJ: hal. 10), peristiwa rakyat yang mengadukan nasibnya terhadap seorang yang dianggapnya sebagai penolong (IJ: hal. 111), dan peristiwa seorang pemuda yang memiliki bakat sebagai seorang penyair (IJ: hal. 119).

Sedangkan aliran romantisme yaitu aliran yang lebih menekankan emosi dan kebebasan individu juga mementingkan perasaan dan imajinasi, dapat dilihat dengan adanya unsur-unsur persajakan (romantis) dalam drama ini sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh Hlestakov di beberapa adegan dimana ia begitu menjunjung tinggi nilai-nilai perasaan yang berbau romantisme, seperti jatuh cinta (IJ: hal. 119 dan hal. 121) dan adanya adegan Hlestakov yang secara tidak sengaja menyusun sebuah skenario drama merujuk pada kenyataan yang sedang ia hadapi saat itu (IJ: hal. 147).
Aliran materialisme sepertinya juga menyemarakkan kelengkapan dari keseluruhan isi drama Inspektur Jenderal tersebut, yaitu dengan adanya tokoh-tokoh yang kesemuanya ternyata memiliki sifat materialistis bahwa segala sesuatunya dicapai berdasarkan materi. Mulai dari tokoh Walikota dan keluarganya (IJ: hal. 131) beserta jajarannya sampai kepada rakyat: saudagar (IJ: hal. 135) juga Hlestakov sendiri bahkan dia yang lebih mendominasi untuk memperoleh materi dengan alasan untuk membiayai perjalanannya dan kebutuhan lainnya.

3. Penutup
Drama Inspektur Jenderal ini adalah bentuk fiksi dari realitas yang terjadi di Rusia pada zaman Tsar (kekaisaran). Kata-kata Inspektur Jenderal menjadi momok menakutkan saat itu dikarenakan menjamurnya tindak kejahatan yang termanipulasi oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Contoh-contoh perilaku yang ditampilkan menjadi cerminan bagi kita bagaimana dan apa saja yang dilakukan oleh seorang yang terhadap orang lain (dalam hal ini yang tertindas) serta pada dasarnya yang tertindas itu juga telah diracuni oleh perilaku penindas tersebut.

17 Februari, 2009

LAKUKAN HAL YANG SEDERHANA DENGAN KEKUATAN CINTA YANG BESAR

M. Syahrul Qodri

Sore itu, senja diliputi mendung dari selatan bergulung-gulung gelap, menandakan hujan akan segera turun menerpa permukaan bumi Yogyakarta. Hujan, senantiasa membawa ingatanku kepada masa kecil, bermain air, ceria tanpa beban, apalagi jika sempat main bola di jalanan yang sepi. Jika hujannya turun di waktu malam, orang-orang tua, khususnya kakekku akan becerita banyak tentang berbagai hal, dongeng-dongeng misterius yang menciutkan nyali, namun menumbuhkan imajinasi yang luar biasa tinggi.

Sore itu, di saat yang bersamaan, SAC (Saturday Acting Club) tengah mempersiapkan pementasan yang berjudul GIFT (Dongeng Cinta di Musim Hujan). Setelah malam mulai bergulir, tanpa peduli akan hujan yang mengancam perjalanan, kubergerak menuju Room Mate Visual Art Curatorial Lab, tempat pertunjukan belangsung. Hujan menderaku dalam perjalanan, dan terasa sangat menggangu, namun langkahku tidak surut ke pertunjukan.

Singkat cerita, pertunjukan dimulai. Hujan masih turun waktu itu, dan Oh, alangkah enaknya suasana remang2, hujan gemericik di atas genteng, lalu Dongeng Musim Hujan bergulir kata demi kata.

Pentas (teater) itu memang berupa cerita-cerita yang memiliki makna dalam, yang langsung menohok ke dalam relung setiap penontonnya. Dongeng Musim Hujan yang diceritakan saat hujan berlangsung memiliki arti tersendiri, persis seperti cerita dongeng tentang seorang pemuda yang memamerkan hatinya, namun kalah oleh hati seorang tua yang penuh tambalan. Tambalan hati itu disebabkan karena ia merobeknya sendiri, lalu memberikan kepada orang lain, dengan tulus tentunya, lalu orang lain memberikan kembali hatinya, sehingga hati demi hati robek sana-sini akibat dari saling memberi kasih saying yang didasari ketulusan.

Suara petir menyambar di atas gedung. Seorang penonton wanita di dekatku merasa kaget. Kuperhatikan wajahnya yang pucat berlumuran air mata. Ia berbisik di telingaku, “…pentas ini…, aku teringat pada masa kecilku yang indah…”. Sementara itu, beberapa saat kemudian, seorang gadis manis di belakangku yang ditemani kekasihnya, mukanya memerah seperti tersipu.

Kekasihnya mencubit pipi gadis itu sambil berbisik, “… dasar egois…!”. Entah apa maksudnya, tapi yang ada di panggung saat itu adalah perdebatan sepasang kekasih tentang suara ayam dan bebek. Kekasih yang diliputi oleh segunung cinta dan bertaburan asmara itu, akhirnya menyepakati bahwa “wek…wek…wek…, adalah suara ayam”, alias bukan "suara bebek".

Pentas itu memang mampu membawa para penontonnya untuk berfikir kembali tentang cinta, tentang hati mereka, tentang ketulusan mereka, dan tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk cinta. Hal ini menunjukkan suatu kesuksesan yang luar biasa bagi SAC. Pada dasarnya penonton adalah pencipta kreatif makna (mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual) dan mereka melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial Chris Barker (2000:281).

Menonton seni pertunjukan adalah sebuah tindakan atau praktek individu/kelompok dengan membawa dan mempertaruhkan berbagai bentuk modal yang dimilikinya dalam ranah seni pertunjukan, yang pada akhirnya secara tidak disadari menjadi habitus yang melekat pada diri seseorang/kelompok. Dalam hal ini, rumus generatif yang diajukan oleh Bourdieu (habitus x modal) + ranah = praktek terurai bersama kenyataan yang ada di masyarakat (Qodri, 2008). Berarti, masyarakat datang menonton bukan dengan harapan kosong. Mereka memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang akan mempengaruhi pandangannya terhadap sebuah pertunjukan.

Dalam hal ini, SAC mampu merangkul penontonnya, membuainya dalam lingkaran dongeng yang secara langsung menohok ke dalam relung jiwa, memaksanya berfikir kembali khususnya tentang cinta, tentang hati mereka, tentang ketulusan mereka, dan tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk cinta. Dengan kata lain, meski hujan mengancam, tetapi penonton hadir dari berbagai kalangan, dan justru hujan itulah yang memberi nuansa semakin terasa.

Sang pendongeng mengatakan, “…lakukanlah hal-hal yang kecil. Hal-hal yang sederhana. Tetapi lakukanlah itu dengan kekuatan cinta yang besar..."….

07 Februari, 2009

Kontroversi UU BHP

Eko Prasojo *)
Guru Besar FISIP UI dan anggota MWA UI

Rabu (17/12) lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi.

Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar dan Jakarta ramai-ramai berdemo menolak UU tersebut. Mengapa UU BHP tersebut menimbulkan kontroversi dan mengapa DPR berkeras untuk mengesahkan UU tersebut? Apa manfaat dan kerugiannya bagi dunia pendidikan kita? Tulisan ini mencoba memberikan satu perspektif singkat mengenai pertanyaan-pertanyaan itu.Tentu saja akan ada perspektif lain dalam melihat UU BHP.

Otonomi atau Liberalisasi?

Sejak awal disiapkan, RUU BHP ”yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.

Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) ”atas nama profesionalisme dan korporasi” yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.

Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.

Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.

Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan bahwa pembiayaannya masih berpijak pada biaya operasional pendidikan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan, seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan mengembangan sumber penerimaan lain dari ventura bisnis.

Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik pengelola, dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi. Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional kepada peserta didik.

Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan oleh BHP.

Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakan kekayaan pendiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37).

Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan.Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).

Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.

Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat. Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.

Menuju Implementasi UU BHP

Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?

Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat “termasuk golongan tidak mampu” untuk menikmati pendidikan.

Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan knowledge sharing dan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP, sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang dan dihilangkan.

Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain.

Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara.

Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis menghimbau, mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

02 Februari, 2009

FKIP UNRAM

DARI: TERSERAH KAMU

Bagaimana kabar kampus kita?
Apakah masih hijau dan segar seperti biasanya? Lalu suara gitar melantun seiring dengan lagu kenangan bersama….”Lingkaran aku cinta padamu”.
Ataukah sebaliknya menjadi panas membara, terbakar oleh amarah-amarah yang tak terduga?

Kadang keinduan datang menghampiriku, menelusup ke dalam relung hati, karena ada harapan yang selalu terngiang, kapan kita maju, berjalan, dan berlari mengejar bulan dan matahari…

Aku cuma bertanya....,

MENGUAK TRADISI CINA PADA MASA 1918-1926 DALAM ‘CATATAN HARIAN ORANG GILA’ KARYA LU XUN

Oleh: Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)



Sekian banyak karya sastra dunia selalu menggambarkan latar belakang asal-usul karya sastra itu, baik dari daratan Eropa, Timur Tengah maupun Asia. Tak dapat dipungkiri, karya sastra dikenal sebagai pencerminan masyarakat yang ada dalam karya tersebut sehingga kita dapat memahami secara tidak langsung situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi background cerita pada sebuah karya sastra.

Cerpen Lu Xun yang berjudul ‘Catatan Harian Orang Gila’ adalah salah satu karya sastra realis yang mendobrak tradisi masyarakat Cina dan memaparkan secara gamblang kondisi rakyat Cina yang begitu memprihatinkan. Cerpen tersebut dilahirkan pada tahun sekitar 1918 sampai 1926 dimana pada masa itu kondisi Cina bergantung pada para penguasa dan para intelektual yang mendominasi kehidupan rakyatnya sehingga sangat tampak ada suatu kermarjinalan atau pembagian kelas-kelas status sosial terhadap yang lemah maupun yang kuat, terhadap penguasa dan yang dikuasai. Oleh karena itu, sastra Cina dikatakan indah ketika karya-karya yang dimunculkan berdasarkan kenyataan yang penuh dengan konflik, kemudian menjadi sebuah transformasi informasi terhadap para penikmat sastra.

Begitu variannya permasalahan politik dan sosial yang nampak sehingga memunculkan suatu ideologi terhadap pengarang (Lu Xun) dalam merespon kondisi-kondisi seperti itu. Tak heran Lu Xun dijuluki sebagai sebuah simbol ‘representasi ideologi komunis dalam sastra’ disebabkan oleh karya-karyanya yang menunjukkan kesetiaannya terhadap rakyat kecil yang membenci penindasan dan anti-penjajahan.

Lu Xun lebih memilih judul ‘Catatan Harian Orang Gila’. Mengapa memilih kata ‘gila’? ia merasa dengan menggunakan kata ‘gila’ pembaca akan lebih mengenal jauh asumsi-asumsi yang tidak hanya merujuk kepada kata ‘gila’ itu sesungguhnya karena sebenarnya ‘gila’ dapat dilihat dari perspektif mana saja. Pada cerpen ini, dikisahkan tokoh Aku yang memiliki kelainan jiwa (gila) karena ia memandang apapun di sekitarnya adalah hal yang benar-benar ganjil. Sikapnya tersebut merupakan bentuk real bahwa ia benar-benar gila. Pandangannya mengenai semua orang yang ada di sekitarnya dikatakannya sebagai orang-orang yang dapat membunuhnya kapan saja dan selalu memusuhinya sehingga kondisinya setiap hari selalu merasa resah serta menganggap apapun yang terjadi pada dirinya dapat membuatnya celaka kapan saja. Mungkin dapat dikatakan kondisi seperti ini adalah orang yang paranoid secara berlebihan sehingga menjadi gila. Kegilaan tersebut dialami oleh tokoh Aku semenjak ia menginjak-injak catatan Tuan Ku Chiu (seorang pada masa Kuno yang menjadi sejarah panjang tentang penindasan feodal di Tiongkok). Pemilik catatan itu (Tuan Chao) tentu saja menjadi geram sekaligus tidak senang dan itu dirasakan oleh tokoh Aku, sehingga dimanapun mereka berpapasan tokoh Aku selalu merasa takut.

Selain itu, Lu Xun berpikir dengan menggunakan kata ‘gila’ karena orang gila pada dasarnya dapat bebas melakukan apa saja dan berkuasa atas dirinya sendiri tanpa harus memikirkan pandangan orang lain mengenai dirinya. Tidak menutup kemungkinan kondisi seperti itu ‘dapat membahayakan orang lain’. Bila dikaitkan dengan jalan cerita, ‘gila’ bisa saja mengancam pada satu sistem kekuasaan yang sudah baku karena dapat memporakporandakan sistem tersebut sehingga mengancam suatu kepemimpinan seseorang. Secara langsung telah memperlihatkan kepada pembaca bahwa Lu Xun menyindir kekuasaan pada masa itu yang lebih mementingkan ‘isi perut’ saja daripada rakyat jelata yang mengalami kesengsaraan tiada akhir sekaligus menyindir rakyat Cina yang saat itu hanya bisa tunduk dan diam saja menyaksikan kebengisan para penguasa tanpa melakukan tindakan apapun (reaksi masyarakat Cina yang lebih memilih hegemoni penguasa daripada keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Cina).

‘Gila’ dalam cerpen ini berarti ‘gila’ harta dan ‘gila’ kekuasaan. Para penguasa sibuk menata harta bendanya agar tak berkurang sedikit pun, jadi lebih sibuk memikirkan dirinya untuk bagaimana supaya terus bertambah kekayaannya daripada memikirkan kemiskinan rakyat yang terus menjadi akibat kerakusan para penguasa itu. Selain itu, para penguasa dan kaum revolusioner serta para intelektual sibuk mempertahankan kekuasaan agar tidak lengser dengan cepat dan kekuasaannya tersebut tetap memiliki kharisma di mata rakyat padahal kenyataannya bobrok. Sindiran-sindiran itu terasa sangat jelas dalam cerpen ini sehingga tokoh Aku hanya dijadikan sebagai alat untuk pembaca dapat memahami betul-betul isi cerita secara keseluruhan meskipun tokoh Aku dalam cerita dinyatakan gila (tidak waras) yang sesungguhnya.
Pada cerpen ini, kita juga dapat melihat pemilihan kata-kata seperti kanibal (makan orang) yang selalu dipergunakan Aku dalam ketakutannya setiap bertemu orang-orang di sekitarnya. Sebetulnya penggunaan kata kanibal itu merupakan simbol bahwa orang-orang pada masa itu memiliki sifat ‘kanibal’ (makan orang), disini dapat diartikan sebagai kerakusan dan ketamakan para penguasa hanya untuk melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang dapat mengancam kedudukannya atau jabatannya sehingga tanpa basa-basi selalu menghalalkan segala cara agar semuanya itu terwujud. Seperti pada kutipan: “Aku sadar bahwa semua perkataan mereka mengandung racun dan di setiap lipatan tawa mereka terselip pisau belati yang siap menyayat. Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal.” (Lu Xun, 2007: 6). Pernyataan-pernyataan itu menjadi lebih jelas maknanya ketika tokoh Aku membaca sebuah catatan. “Aku mencoba untuk mencari, tapi sejarah yang tersaji di hadapanku tidak kronologis. Yang tertulis secara acak di setiap halaman dipenuhi kata-kata: ‘Kebajikan dan Moralitas’. Karena tidak dapat tidur juga, maka aku membaca dengan teliti selama separuh malam sampai aku mulai melihat kata-kata di antara garis-garis, seluruh buku telah dipenuhi dengan dua kata: ‘makan orang’. (Lu Xun, 2007: 7)

Dengan demikian, cerpen Lu Xun yang berjudul ‘Catatan Harian Orang Gila’ dapat dikatakan sebagai perwujudannya protes pengarang terhadap kondisi negeri Cina pada masa itu dimana para penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri atau egois sedangkan rakyatnya berpikiran feodal di tengah-tengah ketamakan para penguasa itu. Lu Xun dengan lantang menyuarakan sindirannya melalu sastra dengan menggunakan kata-kata kanibal (makan orang) dan seekor serigala bentuk para penguasa yang tak ubahnya seperti kata-kata itu. Karya Lu Xun yang fenomena ini menjadi sebuah perbandingan pada karya-karya sastra dunia lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer dari Indonesia, Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol dari Rusia, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi dari Mesir dan sebagainya.

Daftar Pustaka
Lu Xun. 2007. Catatan Harian Orang Gila. Jalasutra: Yogyakarta

01 Februari, 2009

WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’ (Bagian 2 Habis)


Oleh : Syukrina R.(rina_sf@yahoo.co.id)

Aku tetap ‘Bernama’. Tegak berdiri di atas tebing curam yang dibawahnya banyak ulat-ulat busuk yang dijelma dari simbol kekuatan palsu. Aku terluka tapi bertahan. Rintihan anak kecil di pinggir kali itu memacu asa yang bersalah akan pengharapan.
Aku coba menjadi guru. Merasa bangga karena mengalirkan ilmu yang telah kuperoleh lebih dulu dari mereka. Kuajarkan mereka segalanya kecuali membaca. Agar mereka nantinya tak dapa membaca papan-papan iklan yang isinya kata-kata kiasan belaka. Aku tak mau mereka hidup dengan mimpi-mimpi yang tak pasti, aku tak mau mereka hidup di dalam permainan ulat-ulat busuk itu. karena semuanya bohong, penipu dan curang! Kini dunia dipenuhi oleh ulat-ulat yang bangkainya merajalela.

Suatu hari seorang muridku bertanya,
“bu... apakah yang dimaksud dengan kata?”
“Kata adalah pisau dapur.”
“Lalu pisau dapur itu apa?”
“Pisau dapur itu senjata.”
“senjata itu apa?”
“Senjata itu perjuangan”
“perjuangan itu apa?”
“Perjuangan itu kemerdekaan.”
“Kemerdekaan itu apa?”
“Kemerdekaan itu negara.”
“Negara itu hilang... hilang... hilang...”

Aku telah kehabisan kata-kata namun muridku tak menyadari bahwa dirinya pun berakhir dengan kehilangan. Kehilangan segalanya. Kehilangan cita, kehilangan rasa, kehilangan kata-kata. Lalu apa lagi yang paling pantas menyebutku pahlawan. Pahlawanku adalah aku. Aku tak pernah letih berdiri dengan satu kaki ini, karena kaki yang satunya melanglang buana mencari jati dirinya pada apa yang diperolehnya di puncak kerisauan sang malam. Maka sebutlah aku ini bendera yang terpajang karena ‘Bernama’. ‘Bernama’ apa saja yang dapat menjadikan dunia penuh cerita baru.

Kebangkitan seorang di saat itu tak bisa menjadi deretan pernyataan terhadap kisah kepunahan dunia. Mulailah tiba kita menatap waktu demi waktu yang sedikit menepis mimpi. Aku lelah beranjak dengan angan dan harapan semu. Aku terlalu baik mengaku sebagai seorang guru, aku tak cocok mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang yang munafik. Lain di hati bohong juga yang diucapkan.

Hari-hari berlalu seiring ku memahami langkah kakiku. Sampai ku tiba di tepi tebing curam yang terjal. Dari semua yang pernah ku perbuat ternyata inilah yang dapat membuatku melihat sosok ‘Bernama’. Tanpa harus perlu menjadi ‘musang berbulu domba’. Di kabut hari cerah, aku melihat bayanganku sendiri yang sedang giatnya bertaruh menantang kehidupan. Tak ada guna atas semua yang telah kuabdikan. Saatnya sudah aku berlari, bukan merangkak dan menanti orang lain untuk menuntunku berjalan lebih cepat meski kedua kakiku buntung. Tak ada lain lagi sebuah imajinasi melekat pada buah pikiranku.

Masih ada tanganku yang mampu meraba setapak demi setapak perjalananku mencari jati diri. Tidak bergantung pada angin yang berhembusnya ke arah mana. Angin itu bisanya membawa ku ke arah sumber malapetaka yang ku tak tahu di mana ujung pangkalnya. Arahkan sedikit saja mata angin yang terlalu lama menghambat satu per satu jiwa ini. Mungkin aku tak dapat meretas mimpi buruk yang seakan menuntut janji-janji palsu padaku. Tentu saja hidup ini tak ubahnya imajinasi yang tersusun secara sistematis namun tak kiranya ada pengganjal. Tuhan tak diragukan keadilan-Nya, karena sampai saat ini Dia masih adil membagi mana awan dan mana kabut di atas ubun-ubunku. Aku tak pernah menyesal dengan peradaban yang sedang kacau-balau ini, dibaliknya ada setetes embun dari hari malam kemarin yang telah menyejukkan sendi-sendi kegelisahanku. Ku buang riwayat buruk ini hingga masanya berganti menjadi sebuah keabadian yang jauh tempatnya.

Aku terhenti di sini. Di ujung curam yang membawaku terbang bersama burung-burung. Aku tak mengharapkan hal-hal yang tak ingin ku ada pada perjalanan siang dan malam yang tak tentu. Akan kembali nanti cerita itu di saat tubuhku melayang di antara kabut kesunyian.

TAMAT

31 Januari, 2009

WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’ (Bagian 1)

Oleh : Syukrina R.(rina_sf@yahoo.co.id)

Pagi ini aku terasa bimbang di antara tawanan masa. Aku masih berdiri di sela-sela takdir yang digariskan untukku. Di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang untuk pergi ke tempatnya mencari nafkah. Aku pun sepertinya begitu. Segala gerak-gerikku adalah pekerjaanku meski tak menghasilkan uang. Aku bahagia dengan baju seadanya, kaki beralaskan sandal rombengan, wajah kusam, dan badan yang serba kumel. Aku terus berjalan menapaki jejak langkah kakiku sendiri tanpa henti dan tak berujung. Rangkaian peristiwa menyatu dengan barisan semut yang berderet di tepi tembok hitam itu. Entahlah sebenarnya mungkin aku lelah tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja oleh kata-kata malaikat yang selalu terngiang di telingaku. Aku tidak mengerti mengapa aku dilahirkan tapi aku yakin aku hidup karena satu tujuan yaitu kembali pada Tuhan.

Aku coba bekerja menjadi tukang sayur. Setiap hari aku bekerja atas nama ‘memenuhi kebutuhan’, atas itulah aku terpaksa berjuang menindas orang-orang dan hal-hal lainnya yang menghalangi keinginanku. Seperti biasa dengan gerobak sayurku aku berjalan menyusuri jalan, masuk gang keluar gang masuk jalan keluar jalan. Kenapa jalan juga harus tidak pasti sama halnya kehidupan yang tak pasti arah dan tujuannya. Ketika aku masuk gang di Jl. Sudirman, serobotan ibu-ibu memecahkan otakku. Sayur-sayur segar berontak tak rela dibunuh dengan tangan-tangan mereka sekaligus bangga untuk diperebutkan. Aku terdiam sejenak menyaksikan betapa rakusnya mereka terhadap dunia yang masanya mencemooh manusia. Kumpulan materi pun kudapatkan secara tak sengaja.

Keluar gang Jl. Sudirman sedikit berbelok aku mengalihkan perjalanan ke kompleks perumahan mewah di Jl. Soekarno. Aku tak banyak berharap dari penghasilan jualanku ini karena masih banyak yang senasib denganku, nasibnya tak seberuntung tikus-tikus got yang ada di depan rumah mewah itu. mungkinkah masih ada harapan untuk penjahat yang sekedar makan siap saji di restoran? Aku tetap tak percaya, sekarang ada penjahat berlandaskan modal kedok saja. Sudah gila memang hidup ini. Gila rasa, gila cipta, gila kekuasaan, gila kebatinan, gila sudah!! Bagaimana tidak gila, aku saja yang kerjaannya hanya jual sayur siang malam banting tulang tapi ternyata hasilnya tetap tak bertulang. Sayur ini, jualanku ini.... tidak ada bandingannya dengan harga diri yang diinjak-injak di emperan jalan itu. tak ada yang mesti harus kubanggakan selain nyawa yang ada dalam tubuhku ini, kebanggaan terhadap kesombongan yang penuh akan rasa optimis.

Tiba-tiba aku sampai di depan rumah besar yang memiliki dua atap terbuat dari genteng berkualitas luar negeri. Bodohnya aku ini, tukang gerobak sayur numpang lewat di depan rumah mewah yang bau akan wangi permusuhan dalam pergulatan sebuah konflik. Keluarlah seorang kaya berpenampilan elite bicara dengan nada menggurui.
“Negara sudah maju tetap saja rakyatnya tidak maju-maju, mangkanya jadi orang kaya dong biar bisa maju. Maju apa kek gitu... yang penting hidup tidak bergantung dari sebuah gerobak reot.”

Dengan sok cerdas dia bilang lagi.
“Sayur yang lebih sehat biasanya dikemas dengan sehat dan berada di tempat yang sehat pula. Buat apa beli di tempat yang biasanya hanya kotoran saja yang mampir.”
Aku tak semudah terpancing keadaan, aku tidak mau di cap sebagai orang miskin yang goblok.

“Negara tidak akan pernah maju jika rakyatnya tidak maju-maju menolong yang lemah. Yang lemah apa kek gitu.... yang jelas termasuk juga orang-orang yang masih bergantung pada sebuah gerobak reot.”

Aku tak perlu bersusuah payah menyusun kata dengan konsep sendiri.
“Sayur yang lebih sehat biasanya berasal dari hasil panen yang alami, bersih, dan tidak mengandung pestisida hanya untuk sebagai pengawet saja. Buat apa beli di tempat yang rupanya saja bersih tapi kandungannya mematikan peradaban.”
Seorang kaya itu hanya diam dengan muka sinis serta kehilangan kata-kata. Bisanya cuma meludahi kata-kata yang sudah ia lontarkan. Kasihan orang kaya itu.

Aku tak pernah diajar meratapi nasib yang begini-begini saja, tapi aku diajari cara seharusnya menyikapi masalah yang datang. Bagai musim hujan yang datang tak menentu dan bisa datang kapan saja lalu aku pawangnya. Tidak ada yang salah dengan pekerjaannku ini, yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.

Bagai mendung terus menutupi bumi kelam tapi cerianya burung cemara tetap bersandar pada rawa-rawa sunyi di pinggiran kota. Berabad terasa berbulan. Dan malaikat tak pernah berhenti merongrong juga menuntut pertanggungjawabanku atas tragedi pembunuhan yang telah kubuat kepada seekor semut di tembok hitam itu. Tepatnya, kekacauan yang telah kuperbuat sendiri dengan pisau-pisau penjahat kelas teri itu.

MEREKA

Dari: Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)

(untuk kakak2 teater putih yang selalu bersatu demi kemajuan negeri,
perjuangan kalian adalah amanat Tuhan) (Mataram, 071008)

Mereka masih utuh
Berkumpul selalu dengan tujuan
Berdiskusi tentang hidup dan perjuangan
Wajah-wajah yang tak ingin kalah oleh peradaban
Dari muda hingga tua..... mereka tetap satu
Dari belahan dunia ujung Barat hingga ujung Timur... mereka tetap terikat
Mereka masih tegak
Mengibarkan panji-panji pantang menyerah
Tak sekedar mencuri nafas dari Tuhan
Namun sekedar meraih cita-cita
Mereka di jalan perlawanan terhadap hegemoni kebodohan
Mereka takkan lengah sampai akhir hayat

25 Januari, 2009

TEATER DAN LAHIRNYA POSTMODERNISME (Bag2, Habis)

Oleh: M. Syahrul Qodri


Teater Indonesia dan Postmodernisme
Melihat fenomena perteateran di Indonesia saat ini, beberapa kelompok teater yang masih aksis yang memiliki nama cukup luas di wilayah Yogyakarta bahkan di tingkat nasional dan internasional adalah teater Garasi dan teater Gandrik. Kedua kelompok ini akan kita angkat menjadi label teater Indonesia meski tidak mewakili teater Indonesia secara menyeluruh.

Teater Garasi adalah komunitas kreatif dan laboratorium penciptaan teater yang berdomisili di Yogyakarta, Indonesia. Didirikan tahun 1993, Teater Garasi dikenal karena komitmennya untuk mengembangkan dan mencipakan karya pertunjukan teater yang segar dan genuine, berbasis pada kajian atas tradisi seni pertunjukan/teater yang ada dan menggabungkannya dengan media/sensibilitas/ citra kontemporer. Teater Garasi adalah kelompok teater yang selalu mencoba melakukan eksperimen-eksperimen dalam gaya, bentuk, struktur, dan juga artistic, dan seringkali mengadaptasi bentuk maupun gaya-gaya teater simbolis, ekspresionis, teater sosialis, atau absurdisme.

Sebagai contoh, Garasi mementaskan pertunjukan “Je.ja.l.an” pada bulan Mei 2008. saat itu, panggung berbentuk sebuah jalan membelah lantai di Gedung Teater Luwes Institut Jakarta pada pementasan Teater Garasi, Yogyakarta, Jumat-Sabtu malam (23-24 Mei 2008). Aktivitas pemain semua terpusat di jalan tersebut, lengkap dengan properti yang khas jalanan (kumuh) di kota-kota besar Indonesia. Ada seng berjajar membentuk pagar, gardu, dan lain-lainnya. Pun demikian dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya, beragam. Ada petugas keamanan, pelacur, penjual rokok, penjual sandal, penjual obat, anak bermain sepeda, bermain bulu tangkis, pengamen. Selama pertunjukan para pemain bisa sedemikian liar.

Je.ja.l.an adalah seni pertunjukan teater tari (dance theatre) dan teater imaji (theatre of images) yang ingin bercerita tentang kontradiksi dan kontestasi yang ada di (pinggir) jalan di kota-kota di Indonesia. Kontradiksi dan kontestasi antara yang modern dan tradisional, yang kosmopolit dan kampungan, yang elit dan kebanyakan, yang berkuasa dan terpinggirkan, yang agung dan murahan, serta sederet kontradiksi lainnya. Kontradiksi dan kontestasi yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di jalan di kota-kota di Indonesia.

Jalan, sebagaimana kota, adalah bagian yang tak terpisahkan dari berlangsungnya modernitas di Indonesia. Dan juga adalah representasi atas kenyataan-kenyataan (sosial-politik-ekonomi-dan-budaya) Indonesia, sebagai negara dunia ketiga, dalam suatu tata dunia yang semakin terbuka dan terhubung satu sama lain. Bagaimana jalan-jalan di kota-kota di Indonesia disikapi, dijalani, ditinggali serta dihidupi oleh warganya juga mencerminkan bagaimana modernitas dan globalisasi disikapi dan dinegosiasi (baik dalam bentuk penerimaan, penolakan maupun penyesuaian).
Pementasan itu benar-benar tidak terstruktur dengan rapi seperti halnya pementasan teater realis. Para pemainnya lepas seolah memiliki peran sendiri layaknya musik jazz kontemporer. Hal ini menunjukkan terjadi dekonstruksi terhadap apa yang disebut sebagai teater realis, dan tentu saja terhadap modrnisme. Artinya, pementasan “Je.ja.l.an” yang dipergelarkan oleh Garasi merupakan suatu bentuk pementasan teater yang selaras dengan persepektif postmodernisme.

Berbeda halnya dengan teater Gandrik. Gandrik tidak serta-merta melakukan pemberontakan terhadap gagasan realisme, bahkan konsep realisme tersebut dipertahankannya. Tetapi, dari segi tema, isi cerita, musik, dan beberapa struktur teater lainnya lebih menonjolkan sifat kedaerahan atau kearifan lokal.

Mereka memperagakan teater realisme, tetapi mereka mengkombinasikannya dengan akting tradisional seperti menari dan menyanyi dengan kadang-kadang berakting sandiwara seperti dalam ketoprak. Mereka menghafal dialog-dialog tapi mereka mengaktualisasikannya dengan mengimprovisasikan kalimat dan gerakan-gerakan tubuh. Sebagai bahasa pengantar, mereka memakai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sekaligus, bukan hanya dalam batas kosa kata tapi juga dalam sintaksis, ritme bicara dan aksen.
Berangkat dari apa yang dilakukan oleh Gandrik, Bakdi Soemanto (2000:55) mengatakan bahwa teater Gandrik merupakan fenomena teatrikal pada masa transisi ketika kelompok-kelompok etnik kepulauan ini berada dalam proses menjadi Indonesia. Ini juga merupakan fenomena kebudayaan saat globalisasi direfleksikan. Kelompok gandrik adalah hasil dialog jangka panjang di tengah-tengah kebudayaan yang akan datang melewati zaman-zaman, gelombang-gelombang yang tampaknya tak putus-putus. Ia merupakan sebuah gambaran postmodernisme. Perspektif postmodernisme dalam hal ini adalah terangkatnya kearifan lokal yang tidak serta-merta menjunjung tinggi logosentrisme, strukturalis, dan konvensionalisme dalam teater. Fenomena Gandrik menunjukkan bahwa ia adalah kelompok teater yang postmodernisme.

Melihat kedua kelompok teater di atas, adalah sebuah fenomena peteateran Indonesia yang mengambil sikap dan bentuk pementasan teater berperspektif postmodernisme yang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari modernisme ke postmodernisme.

Penutup
Meski kedua kelompok tersebut sudah merambah kepada tataran konsep postmodernisme, tetap saja penilaian akhir sebuah pertunjukan berada di tangan penonton. Penonton sebagai komunitas masyarakat kecil yang hadir saat pertunjukan berlangsung akan menjadi penentu nilai keberhasilan sebuah pertunjukan teater. Namun, perlu disadari bahwa masyarakat (Indonesia) kita yang bertebaran di wilayah nusantara hingga saat ini belum seluruhnya memiliki konsep pemikiran, idealisme, dan pandangan postmodernisme. Bahkan yang lebih parah adalah belum mencapai tingkatan modernisme.
Tetapi, saya percaya, suatu saat nanti masyarakat kita akan lebih memahami konsep, makna, dan idealisme tersebut melalui pementasan-pementasan teater Gandrik ataupun Garasi, meski waktu itu belum bisa dipastikan, entah kapan.

23 Januari, 2009

TEATER DAN LAHIRNYA POSTMODERNISME (Bag1)

Oleh: M. Syahrul Qodri

Seorang tokoh pemikir Prancis, Jacques Derrida (dalam Ritzer 2008:650-651) pernah mengungkapkan sebuah istilah dalam diskusinya “theatre of cruelty” (teater kekejaman). Teater kekejaman yang dimaksud dalam hal ini bukan berarti sebuah teater yang kejam atau pentas teater yang kejam, tetapi sebuah system perteateran tradisional (Barat) yang didominasi oleh system pemikiran yang dia sebut sebagai “logika reprsentasional”. Jadi, yang terjadi di atas panggung mewakili yang tejadi di dunia nyata, maupun haparapan penulis, sutradara, dan lain sebagainya. Representasionalisme ini adalah dewa teater, dan hal ini menjadikan teater tradisional (Barat) bersifat teologis. Menurutnya, teater teologis adalah teater yang dikontrol dan diperbudak.

Panggung bersifat teologis selama strukturnya, karena mengikuti tradisi, menguasai elemen-elemen berikut: pengarang-pencipta yang dibekali dengan teks dan terus-menerus mengawasi, mengumpulkan, dan mengatur waktu atau makna representasi, sementara dia tidak hadir dan berada di kejauhan… ia membiarkan representasi merepresentasikannya melalui wakil, sutradara atau actor, penafsir yang diperbudak…yang …lebih kurang secara langsung merepresentasikan pemikiran “penciptanya”. Budak interpretif yang setia menjalankan rancangan yang telah ada dari sang “majikan”…akhirnya, panggung teologis menguasai public pasif dan duduk tenang, penongon, konsumen, penikmat (Derrida, 1978: 235).

Derrida merancang panggung alternatif yang di dalamnya “wicara tidak lagi mengatur panggung”. Jadi, panggung tidak lagi diatur, misalnya oleh pengarang teks. Actor tidak akan lagi didikte; penulis tidak lagi dictator dari hal-hal yang sering terjadi di atas panggung. Namun tidak berarti panggung akan berubah anarkis. Derrida hanya menyerukan dekonstruksi radikal terhadap teater teologis di atas. Ia ingin membebaskan teater dari kediktatoran penulis, membebaskannya dari semua otoritas intelektual yang telah menciptakan diskursus dominan. Dengan kata lain, Derrida ingin melihat kita semua menjadi penulis. Derrida menegaskan sebagai poinnya adalah kita tidak akan menemukan masa depan di masa lalu, pun kita tidak boleh secara pasif menunggu nasib kita. Namun, masa depan harus ditemukan, diciptakan, ditulis dalam hal-hal yang tengah kita lakukan.

Untuk digarisbawahi, Derrida adalah tokoh pemikir perancis yang memulai atau mengawali poststrukturalis. Seperti yang dikatakan Charles Lemert (1990) yang menanggap awal poststrukturalis adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966. Di dalam pidato tersebut, ia memproklamirkan terbitnya zaman poststrukturalis baru. Bertolak belakang dengan strukturalis, khususnya yang mengikuti peralihan linguistic dan yang melihat orang dikekang oleh struktur bahasa, Drrida mereduksi bahasa menjadi tulisan yang tidak mengekang subjek. Derrida juga melihat institusi sosial hanya sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang, hal ini berarti Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial (Trifonas, 1996) dan ketika dekonstruksi ini telah dilakukan, yang akan ditemukan di sana adalah tulisan.

Kalau strukturalis melihat tatanan dan stabilitas dalam system bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna yang berbeda pada kata. Akibatnya, system bahasa tidak mungkin memiliki kekuatan untuk mengekang orang seperti pandangan kalangan strukturalis. Derrida menawarkan perspektif subversive dan dekonstruktif.

Objek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencaian system pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, cantik, dan lain sebagainya) yang telahmendominasi pemikiran sosial Barat. Logosentris tidak hanya menutupi filsafat, namun juga ilmu-ilmu humaniora.

Setelah semakin maraknya gerakan dekonstruktif ini (yang bukan hanya mencakup bidang linguistic) merambah ke berbagai bidang lainnya seperti bidang sosial, filsafat, bahkan juga bidang seni, postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran.

Postmodernisme merupakan suatu persepektif yang menyoroti kegagalan gagasan Pencerahan (Saifuddin, Ahmad F. 2006). Ia merujuk pada epos-jangka waktu, zaman, masa sosialdan politik yan biasanya terliaht mengiringi era modern dalam suatu pemahaman histories (Kumar, 1995). Postmodern pada sisi lain merujuk pada produk cultural (dalam seni, film, arsitektur, dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk cultural modern (Jameson, 1991). George Ritzer (2008:14) mengatakan bahwa postmodern meliputi suatu epos histories baru, produk cultural baru, dan tipe teoretisasi baru emngenai dunia sosial. Semua elemen tersebut tentu saja memiliki suatu perspektif yang baru… menggantikan realitas-realitas modern.

Perlu digarisbawahi, mendefinisikan apa itu postmodernisme tidak hanya melihat secara historis, atau secara teoritis, tetapi harus dilihat dari berbagai perspektif. Hal ini menyebabkan terjadinya keambiguan definisi terhadap apa yang disebut sebagai postmodernisme. Meski demikian, realitas sosial sat ini menunjukkan gejala itu dengan sangat nyata.

Antara Teater dan Lahirnya Postmodernisme

Mari tengok sejenak perkembangan teater pada masa sebelum (postmodern) itu, di mana terdapat pergerakan teater yang sudah melakukan berbagai macam dekonstruksi terhadap struktur teater. Sebut saja misalnya teater-teater yang mencoba beralih atau memberontak terhadap gerakan realisme, seperti simbolis, ekspresionis, teater sosialis, atau absurdisme.

Kita ambil sebagai contoh, teater simbolis yang dipelopori oleh Richard Wagner (1813-1883) seorang composer musik dan Nietzsche (Styan 1992:5-6). Khususnya Wagner, Ia mencoba memasukkan unsur musik ke dalam pementasan dan menjadikannya sebagai unsur penting pementasan, lalu menjauhkan penonton dari realitas yang ada, karena menurutnya penonton harus dibebaskan dari hiruk-pikuk keseharian dan dimasukkan ke dalam dunia musik yang gaib. Aliran ini hanya mempercayai intuisi untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Kenyataan hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol (Sumardjo, 1986:87-88).

Perkembangan teater selain aliran ini yang paling terlihat mengambil persimpangan dengan realisme adalah absurdisme yang berangkat dari konsep eksistensialisme. Tokoh yang paling terkenal dalam eksistensialisme adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Albert Camus(1913-1960), dan dalam bidang teater absurd, tokoh yang paling mengemuka adalah Samuel Beckett (1906-1989), Jean Genet 1910-1986), dan Eugene Ionesco (1912-1994).

Aliran-aliran yang disebutkan di atas merupakan aliran-aliran yang melakukan pemberontakan terhadap realisme, baik pada tataran konsep, idealisme, dan juga struktur pementasan. Pemberontakan serta dekonstruksi terhadap teater realisme pada hakikatnya juga merupakan pemberontakan terhadap modernisme yang menjunjung kemapanan (terutama pada) struktur, berorientasi kapitalisme, serta logosentris, karena sebagaimana kita ketahui, teater realisme berangkat dari pemikiran Positivistme (Augutse Comte [1798-1857]) dan Evolusionisme (Charles Darwin [1809-1882]), yang menelurkan modernisme.

Aliran-aliran ini muncul pada abad XIX, atau lebih tepatnya sebelum Derrida berpidato tentang postrukturalis, dan sebelum tahun 1972 saat diruntuhkannya rumah Pruitt-Igoe di St. Louis, dan sebelum lahirnya postmodernisme.

Menjadi sesuatu yang menarik, mengapa Derrida menggunakan analogi teater untuk mendekonstruksi strukturalisme dalam linguistic, atau dekonstruksi terhadap sosial modern. Menarik pula dilihat bahwa J.P. Sartre, atau para pemikir lainnya yang menolak kebanggaan modernitas, merupakan tokoh-tokoh penting dalam bidang seni, khususnya teater. Adakah kemungkinan bahwa lahirnya postmodernisme (yang saat ini didengung-dengungkan oleh para pemikir sosial, antropologi, psikologi, bahkan filsafat) itu ditelurkan oleh para seniman (teater)?