01 Februari, 2009

WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’ (Bagian 2 Habis)


Oleh : Syukrina R.(rina_sf@yahoo.co.id)

Aku tetap ‘Bernama’. Tegak berdiri di atas tebing curam yang dibawahnya banyak ulat-ulat busuk yang dijelma dari simbol kekuatan palsu. Aku terluka tapi bertahan. Rintihan anak kecil di pinggir kali itu memacu asa yang bersalah akan pengharapan.
Aku coba menjadi guru. Merasa bangga karena mengalirkan ilmu yang telah kuperoleh lebih dulu dari mereka. Kuajarkan mereka segalanya kecuali membaca. Agar mereka nantinya tak dapa membaca papan-papan iklan yang isinya kata-kata kiasan belaka. Aku tak mau mereka hidup dengan mimpi-mimpi yang tak pasti, aku tak mau mereka hidup di dalam permainan ulat-ulat busuk itu. karena semuanya bohong, penipu dan curang! Kini dunia dipenuhi oleh ulat-ulat yang bangkainya merajalela.

Suatu hari seorang muridku bertanya,
“bu... apakah yang dimaksud dengan kata?”
“Kata adalah pisau dapur.”
“Lalu pisau dapur itu apa?”
“Pisau dapur itu senjata.”
“senjata itu apa?”
“Senjata itu perjuangan”
“perjuangan itu apa?”
“Perjuangan itu kemerdekaan.”
“Kemerdekaan itu apa?”
“Kemerdekaan itu negara.”
“Negara itu hilang... hilang... hilang...”

Aku telah kehabisan kata-kata namun muridku tak menyadari bahwa dirinya pun berakhir dengan kehilangan. Kehilangan segalanya. Kehilangan cita, kehilangan rasa, kehilangan kata-kata. Lalu apa lagi yang paling pantas menyebutku pahlawan. Pahlawanku adalah aku. Aku tak pernah letih berdiri dengan satu kaki ini, karena kaki yang satunya melanglang buana mencari jati dirinya pada apa yang diperolehnya di puncak kerisauan sang malam. Maka sebutlah aku ini bendera yang terpajang karena ‘Bernama’. ‘Bernama’ apa saja yang dapat menjadikan dunia penuh cerita baru.

Kebangkitan seorang di saat itu tak bisa menjadi deretan pernyataan terhadap kisah kepunahan dunia. Mulailah tiba kita menatap waktu demi waktu yang sedikit menepis mimpi. Aku lelah beranjak dengan angan dan harapan semu. Aku terlalu baik mengaku sebagai seorang guru, aku tak cocok mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang yang munafik. Lain di hati bohong juga yang diucapkan.

Hari-hari berlalu seiring ku memahami langkah kakiku. Sampai ku tiba di tepi tebing curam yang terjal. Dari semua yang pernah ku perbuat ternyata inilah yang dapat membuatku melihat sosok ‘Bernama’. Tanpa harus perlu menjadi ‘musang berbulu domba’. Di kabut hari cerah, aku melihat bayanganku sendiri yang sedang giatnya bertaruh menantang kehidupan. Tak ada guna atas semua yang telah kuabdikan. Saatnya sudah aku berlari, bukan merangkak dan menanti orang lain untuk menuntunku berjalan lebih cepat meski kedua kakiku buntung. Tak ada lain lagi sebuah imajinasi melekat pada buah pikiranku.

Masih ada tanganku yang mampu meraba setapak demi setapak perjalananku mencari jati diri. Tidak bergantung pada angin yang berhembusnya ke arah mana. Angin itu bisanya membawa ku ke arah sumber malapetaka yang ku tak tahu di mana ujung pangkalnya. Arahkan sedikit saja mata angin yang terlalu lama menghambat satu per satu jiwa ini. Mungkin aku tak dapat meretas mimpi buruk yang seakan menuntut janji-janji palsu padaku. Tentu saja hidup ini tak ubahnya imajinasi yang tersusun secara sistematis namun tak kiranya ada pengganjal. Tuhan tak diragukan keadilan-Nya, karena sampai saat ini Dia masih adil membagi mana awan dan mana kabut di atas ubun-ubunku. Aku tak pernah menyesal dengan peradaban yang sedang kacau-balau ini, dibaliknya ada setetes embun dari hari malam kemarin yang telah menyejukkan sendi-sendi kegelisahanku. Ku buang riwayat buruk ini hingga masanya berganti menjadi sebuah keabadian yang jauh tempatnya.

Aku terhenti di sini. Di ujung curam yang membawaku terbang bersama burung-burung. Aku tak mengharapkan hal-hal yang tak ingin ku ada pada perjalanan siang dan malam yang tak tentu. Akan kembali nanti cerita itu di saat tubuhku melayang di antara kabut kesunyian.

TAMAT

Tidak ada komentar: