26 September, 2008

MELAIQ DALAM RUANG BUDAYA: SUATU PERSPEKTIF INTERPRETIF SIMBOLIK

Oleh: M. Syahrul Qodri

Di pulau Lombok, dikenal istilah melaiq [=mәlaI?]. Melaik merupakan istilah yang digunakan untuk melarikan seorang perempuan, kemudian nantinya akan dijadikan sebagai istri. Pihak laki-laki memiliki kewajiban untuk melarikan seorang perempuan dengan tata cara tertentu yang telah disepakati bersama secara konvensi. Hal ini sudah menjadi tradisi masyarakat Lombok dalam satu proses menuju pernikahan.
Di tempat lain (di Jawa misalnya) mungkin peristiwa ini dianggap sebagai pencurian atau bahkan penculikan, namun di pulau Lombok hal itu dianggap sebagai sesuatu yang lumrah, atau sudah mentradisi. Dengan demikian, melaiq merupakan cerminan kebudayaan masyarakat Lombok. Lalu, apakah yang dimaksud dengan kebudayaan?
Mendefinisikan istilah kebudayaan bukanlah hal yang mudah. Sudah banyak para ahli antopologi dan budayawan mencoba merumuskan definisi kebudayaan, namun hingga saat ini belum menemukan titik temu yang dianggap bisa mewakili keseluruhan definisi kebudayaan. Oleh karena hal tiu, Kroeber dan Kluckhohn mencoba menghimpun berbagai definisi kebudayaan. Hasil yang diperoleh dikumpulkannya dalam buku mereka Culture: A Critical Revew of Concepts and Definition, dan mereka menemukan 160 definisi.
Jika demikian halnya, tidak salah jika Paul Willis (2000: v) mengatakan kebudayaan merupakan suatu kategori yang aneh dan begitu luas. Ini adalah satu dari sekian banyak konsep, mungkin ini adalah contoh terbaik, yang tidak dapat kita abaikan begitu saja―ia digunakan di berbagai tempat namun juga sangat tidak memuaskan serta memerlukan banyak perbaikan.
Gazalba (1992:57-58) mencoba merumuskan sebuah defini yang sederhana. Ia menyatakan kebudayaan adalah cara berfikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusai, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu. Cara berfikir dan cara merasa itu menyatakan diri dalam cara berlaku dan cara berbuat. Ruang dan waktu juga merupakan penentu dari sebuah kebudayaan. Berbeda ruang atau berbeda waktu, maka akan berbeda pula kebudayaan.
Spradly (2007:6) melihat dari sudut pandang etnografi menyatakan bahwa kebudayaan merupakan pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan penglaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Dengan demikian, kebudayaan bis kita katakan sebagai blue print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman tingkah laku (Abdullah2007: 1).
Pandangan semacam ini (menurut Abdullah, 2007:1) telah menyebabkan para peneliti merunut keberlanjutan kebudayaan itu pada ekspresi simbolik individu dan kelompok, terutama untuk melihat bagaimana proses pewarisan nilai itu terjadi, seperti yang dibayangkan Geertz bahwa kebudyaan itu merupakan pola dari pengertian-pengertian atau makna-makna yang terjalin secara menyeluruh dalam simbol-simbol dan ditransmisikan secara historis (Geertz:1973:89)
Lebih jauh lagi, Syaifuddin (2006:288) merincikan pemikiran Geertz tentang definisi kebudayaan sebagai berikut:
  1. Suatu system keteraturan dari makna symbol-simbol, yang dengan makna dan symbol tersebut individu-individu mendefinisikan dunia mereka, mengekspresikan perasaan-perasaan mereka, dan membuat penilaian mereka.
  2. Suatu pola makna-makna yang ditransmisikan secara historis yang terkandung dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui bentuk-bentuk simbolik tersebut manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan.
  3. Suatu peralatan simbolik bagi mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik dari informasi.
  4. Oleh karena kebudayaan merupakan suatu system symbol, maka proses kebudayan harus dipahami, diterjemahkan, dan diinterpretasi.

Geertz adalah salah seorang antropologi dari Amerika yang mempelopori sebuah paradigma interpretif simbolik dalam bidang antropologi. Menurut Syaifuddin (2006:291), simbol atau tanda dapat dilihat sebagai konsep-konsep yang dianggap oleh manusia sebagai pengkhasan sesuatu yang lain yang mengandung kualitas-kualitas analis-logis atau melalui asosiasi-asosiasi dalam pikiran atau fakta. Sedangkan Kris Budiman (2001:129) berpendapat, pelbagai fenomena kebudayaan dapat dipandang dari dua sisi yang komplementer, yaitu sebagai sistem tanda-tanda, dan sebagi praktik-praktik penandaan. Adapun yang dimaksudkan dengan tanda di sini adalah sebagaimana ia digunakan dalam pengertian yang paling luas, yakni sebagai entitas konvensional atau natural apa pun yang tersusun dari sebuah wahana tanda, yang terkait dengan makna, atau yang secara umum dipesamakan dengan simbol oleh Geertz, yaitu segala sesuatu (objek-objek, tindakan-tindakan, peristiwa-peristiwa, kualitas-kualitas, atau relasi-relasi) yang menjadi wahana bagi makna-makna.
Dengan demikian, ketika kita melihat sesuatu, entah itu peristiwa, benda, apalagi seseorang, kita semestinya melihat sesuatu itu dari sudut pandang sesuatu itu pula; bukan dari sudut pandang kita, sehingga segala hal yang sekiranya mengindikasikan terjadinya konflik, bisa ditemukan titik solusinya.
Sama halnya dengan persoalan melaiq di atas. Peristiwa semacam itu jangan dipandang dari sudut budaya Jawa, atau budaya lainnya, tetapi lihatlah hal itu dati sudut pandang orang Lombok sendiri. Hal ini berarti, ketika hendak mengomentari sesuatu, kita harus pahami sesuatu itu dari berbagai sudut pandang, dan hal ini menuntut kita untuk belajar saling mengenal satu sama lain.
TUHAN MENCIPTAKAN MANUSIA BERBEDA-BEDA UNTUK SALING MENGENAL.

18 September, 2008

Selamat Datang

Bagi para pecinta Teater, bergabunglah bersama kami!
Silakan mengisi artikel dan langsung anda posting.
Melalui blog ini, mari kita diskusikan berbagai hal tentang dunia teater, tentang kehidupan bangsa yang semakin menyedihkan, namun kita tidak lupa selalu teresnyum, karena kita masih bisa berbagi cerita dan berkumpul bersama.

Teater Putih hingga saat ini masih...
"terbuka dan bersama-sama"

PENONTON TEATER YANG MULTIKULTUR DALAM RANAH IDENTITAS DAN SELERA YANG SAMA

Oleh: M. Syahrul Qodri

A. Pengantar
Berbicara tentang ragam budaya yang berbeda yang ada di Indonesia, atau sering juga disebut dengan multikultural (mungkin) merupakan hal yang biasa, namun saat ini, multikultualisme telah berubah arah. Multikultural bukan lagi menjadi sebuah identitas bangsa yang bernaung di bawah makna Bhineka Tunggal Ika, melainkan terjadinya penonjolan identitas diri, yang mengarah pada fanatisme etnis, yang berakibat pada pengakuan diri yang berlebihan. Semboyan Bhineka Tunggal Ika sendiri saat ini sudah jarang sekali terdengar apalagi didengungkan. Entah, apakah makna Ika (satu) yang salah terdefinisikan beberapa periode yang lalu sebagai yang lebih terorientasi pada definisi politik yang diartikan dengan asas tunggal : bahasa yang satu dan orientasi nilai yang satu, dan tentu saja tunduk pada satu pusat (Abdullah, Irwan, 2007:78-79).
Tidak dapat dipungkiri memang, pada beberapa periode yang lalu, multikultural atau keragaman budaya yang hidup di wilayah nusantara tenggelam oleh proses eksklusi dan inklusi sosial. Sudah menjadi rahasia umum bahwa etnis-etnis mayoritas mendapatkan privelese-privelese dalam berbagai bentuk, sementara yang tidak memiliki back-up mengalami marginalisasi (Abdullah, Irwan, 2007:66). Sejalan dengan itu, Parsudi Suparlan (2000:44) mengatakan penyeragaman kebudayaan suku bangsa di daerah-daerah telah dilakukan antara lain dengan menyudutkan kebudayaan-kebudayaan tersebut (etnis yang termaginalkan, pen.) sebagai terbelakang dan harus di-Indonesiakan. Peng-Indonesiaan ini dilakukan dengan cara pentaran p4…, yang dilakukan oleh Depsos R.I.
Proses serupa terjadi pada suku-suku lain yang tersebar di berbagai tempat yang dianggap masih terasing, seperti Kubu, Badui, Sakai, dan lain-lain. Proses pengembangan suku-suku itu bukan sekedar memodernkan mereka denganmengubah gaya hidup, tetapi juga menghilangkan sifat dan karakter dasar mereka dari etnis yang bersangkutan sehingga melahirkan resistensi dari etnis yang bersangkutan (Abdullah, Irwan, 2007:67)..
Hal ini juga berakibat pula pada perkembangan kesenian yang ada. Kesenian-kesenian daerah yang begitu beragam harus mengalami pergeseran oleh karena adanya penyeragaman budaya tersebut. Pada akhirnya, di beberapa daerah saat ini, mencoba mengangkat kembali kesenian-kesenian yang dianggap bisa menjadi identitas daerah mereka, meski kesenian tersebut sudah melalui berbagai macam perubahan substansial, atau malah bukan asli milik daerah tersebut.
Sebenarnya, hal itu sah-sah saja, asal kesenian tersebut tetap membawa nilai-nilai yang semestinya, bukan sebagai alat politik yang dapat menghancurkan nilai luhur yang terkandung dalam seni tersebut―terlebih lagi kesenian itu adalah kesenian tradisi yang diagungkan oleh masyarakat pemiliknya.
Kembali kepada persoalan multikultural, kaitannya dengan kesenian yang ada di nusantara (khususnya dalam seni pertunjuukan). Multikultural paling jelas dapat terlihat pada aktivitas penonton kesenian tersebut. Sebagai contoh, ketika digelar sebuah seni pertunjukan, misalnya pementasan teater modern atau pertunjukan Wayang, penonton yang hadir pada saat itu memiliki latar belakang yang berbeda-beda, latar pendidikan serta pola pikir yang berbeda pula. Keberagaman atau perbedaan yang ada dalam kelompok penonton tersebut pada dasarnya adalah menggambarkan adanya multikultural yang nyata dalam sebuah komunitas kecil. Anehnya, para penonton yang hadir meskipun memiliki perbedaan kultur maupun gaya berpikir, dan bahkan berbeda pula menafsirkan pertunjukan yang sedang berlangsung, tatapi jarang sekali terjadi benturan antara sesama penonton apalagi dengan seniman yang melakukan action pertunjukan.
Pertunjukan yang dimaksud dalam hal ini adalah seni pertunjukan yang membawa misi kemanusiaan, membawa angin kesadaran bagi masyarakat, serta mengajak masyarakat ke arah yang lebih baik. Misalnya, teater. Seni teater adalah salah satu resiko kultural dari naturmanusia hidup, seperti juga ekspresi keilmuan, teknologi, serta kesalihan religius (Emha Ainun Najib, 1995:192). Teater yang dimaksudkan adalah sebuah cara yang paling komplit (meskipun sangat kompleks) yang dilakukan oleh manusia untuk merepresentasikan kehidupannya melalui bahasa kesenian. Sebuah medium untuk menghadirkan kembali pengalaman hidupnya melalui bahasa ungkap gerak, bunyi, penampakan, warna, dan kata-kata.
Persoalannya sekarang adalah, mengapa penonton (khususnya seni pertunjukan teater) yang bersifat multikultural dalam komunitas tersebut dapat terintegrasi begitu rupa?

B. Identitas dan Selera
Untuk merepresentasikan diri, atau sekedar merefleksikan diri, Lacan memberikan konsep sederhana seperti seorang anak yang berdiri di depan cermin sebagai metafora. Konsep refleksi ini merupakan sikap umum (terutama dalam filsafat Jerman) yang berakar pada Hegel. Pemikiran lain tentang identitas diri adalah dialektika pengakuan. Dialektika pengakuan merujuk pada gagasan bahwa kita mendapatkan pengetahuan tentang siapa diri kita dari bagaimana orang lain bersikap pada kita (Sarup, Madan.2007:12-13). Pada titik ini, terdapat ketegangan inheren, perasaan terancam, karena identitas seseorang tergantung pada pengakuan orang lain.
Sejalan dengan itu, salah satu dari penanda kunci dan elemen identitas sosial menurut Bourdieu adalah selera. Sebagaimana semua selera, dia menyatu dan terpisah. Dengan menjadi produk pengkondisian yang berhubungan dengan kategori syarat eksistensi tertentu, dia menyatukan semua orang menjadi produk kondisi serupa sambil membedakan diri mereka dari orang lain. Dan dia membedakan dengan cara yang esensial, karena selera adalah basis bagi semuanya diperuntukkan bagi orang lain, sementara orang mengklasifikasikan dirinya, pada saat yang sama dia juga mengklasifikasikan orang lain (Jenkins.2004:213).
Bourdieu mengatakan bahwa selera, yang kelihatannya sekedar praktek inividu, sebetulnya sudah diatur oleh logika praktek dan selalu merupakan bagian dari praktek kelas (Antarikasa, 2000). Teori praktik (practice) yang diajukan oleh Bourdieu mencakup habitus, modal, dan ranah (field). Ketiga hal tersebut terkait satu sama lainnya. Secara ringkas, Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktek social dengan persamaan : (Habitus x Modal) + ranah = praktek. Rumus ini mengganti setiap relasi sederhana antaa individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal Takwin (2008:xxi)..
Bourdieu (1979:vii) mengartikan habitus sebagai “… suatu system disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah. (durable, transposable disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi prektek-praktek yang terstruktur dan terpadu secara objektif” (Takwin, 2008:xvii). Dengan demikian, habitus bisa dikatakan sebagai kebiasaan yang bersifat reflektif dan juga hasil reproduktif dari hubungan sosial yang objektif maupun interpretasi subjektif. Kebiasaan ini dapat dilihat melalui berbagai dimensi, antara lain adalah gaya hidup, emosi, perilaku, kosmologi, dll.
Ranah diartikan Bourdieu sebagai jaringan relasi antar posisi-posisi objektif dalam sautu tatan social yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual (Bourdieu & Eagleton, dalam Harker, dkk [ed].2008). dalam hal ini, ranah bukan ikatan intersubjektif antar individu melainkan semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan. Ranah inilah yang menjadi dasar untuk habitus. Ranah merupakan wilayah kehidupan social yang sangat kompleks, atau dengan kata lain mengisi ruang social. Ruang social mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia social. Konsep ini menganalogikan realitas sebagai sebuah ruang dan pemahamnnya menggunakan pendekatan topologi. Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai mentuk modal.
Modal yang dimaksudkan adalah meliputi benda-benda material (yang bisa mempunyai nilai simbolis), prestise, status, otoritas, juga selera dan pola konsumsi. Modal juga bias dikategorikan dalam tiga hal, yaitu: modal ekonomis, modal social, dan modal budaya (pengetahuan ttg seni budaya, cita rasa budaya, dan kualifikasi-kualifikasi formal seperti gelar, jabatan, dll. Bourdieu menjelaskan bahwa habitus aktor-aktor fundamentalisme telah dibentuk secara ketat oleh tubuh sosialnya masing-masing. Pembentukan itu sangat terkait dengan pembiasaan, karena ditopang oleh modal kultural, seperti potensi pendidikan dan selera sosialnya. Oleh karena ranah fundamentalisme dan liberalisme yang berbeda, maka praktik sosialnya pun akan berbeda. Dengan cara pandang Bourdieu, habitus individu dibentuk oleh/dikaitkan pada keluarga, kelompok, dan yang paling penting posisi kelas individu dalam masyarakat. Habitus beroperasi berdasarkan sebuah logika praktek (logic of practice) yang diatur berdasarkan system klasifikasi bawah sadar (maskulin/feminine, baik/buruk, trend/kuno, dll). Penerapan prisnisp-prinsip ini dalam bentuk konsumsi budaya dikenal sebagai selera.
Kembali kepada persoalan awal, memang tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran seorang atau sekelompok penonton dalam sebuah pertunjukan teater tidak akan lepas dari masalah selera dan identitas. Seseorang atau kelompok yang memiliki latar tradisi dalam konsumsi seninya akan lebih menyukai pertunjukan teater daerah, demikian juga sebaliknya, yang menyukai teater Barat biasanya sudah melekat pada dirinya pengaruh Barat pula.
Alia Swastika dalam Kompas Edisi 4 Februari 2004 menjelaskan bahwa penonton teater, pada masa kemunculan teater di Indonesia, adalah mereka yang bersama-sama ingin menjadi bagian dari masyarakat modern dan terpelajar. Yang menjadi penonton teater pada masa itu adalah generasi yang bersekolah, atau berkuliah, pada sekolah atau universitas (di kota) yang mengajarkan kepada mereka nilai budaya asing dan baru, yang industrial. Sementara pada saat yang bersamaan, oleh orangtua mereka, generasi ini masih diakrabkan dengan nilai-nilai lama yang memberikan sensasi kenyamanan karena keterlibatan mereka dengan jagat.
Sebenarnya menonton adalah suatu aktivitas yang diinformasikan secara sosial dan kultural yang terkait erat dengan makna. Penonton adalah pencipta kreatif makna (mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual) dan mereka melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial Chris Barker (2000:281). Lebih jauh, ia mengatakan bahwa teks membawa berbagai makna, dan hanya sedikit makna yang dapat diambil oleh penonton. Memang, penonton yang terbentuk dengan cara yang berbeda akan mengerjakan makna tekstual secara berbeda pula. Penonton dikonsepsikan sebagai produsen makna yang bersifat aktif dan berpengatahuan luas, bukan produk dari teks yang terstrukturkan.
Sehubungan dengan kenyataan bahwa menonton pertunjukan selalu berkaitan dengan identitas dan selera, seseorang tidak menutup kemungkinan akan datang menonton hanya gara-gara yang melakukan aksi pertunjukan adalah temannya, atau diajak nonton oleh kelompok temannya, hanya sekedar ingin menunjukkan bahwa ia adalah satu identitas dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, serta memiliki selera yang sama.
Menonton seni pertunjukan adalah sebuah tindakan atau praktek individu/kelompok dengan membawa berbagai bentuk modal yang dimilikinya dalam ranah seni pertunjukan, yang pada akhirnya secara tidak disadari menjadi habitus yang melekat pada diri seseorang/kelompok. Dalam hal ini, rumus generatif yang diajukan oleh Bourdieu (habitus x modal) + ranah = praktek terurai bersama kenyataan yang ada di masyarakat.
Kenyataan ini, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Harymawan (1993:196-197) menguraikan secara umum alasan-alasan mengapa masyarakat datang untuk menonton (khususnya teater). Alasan-alasan itu adalah Hasrat Dasar Kemanusiaan dan Kesamaan Pendorong.

C. Penutup
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam aktivitas atau praktek social yaitu datang ke tempat seni pertunjukan untuk menonton, meski dari sekian jumlah penonton memiliki latar belakang yang berbeda, pola pikir yang berbeda, dan bahkan tingkat pendidikan yang berbeda pula, mereka memiliki selera yang sama, memiliki habitus dalam satu ranah yang sama, sehingga konflik yang kemungkinan akan terjadi sesama penonton sangat kecil. Hal ini menunjukan bahwa masyarakat dating ke tempat pertunjukan di dorong oleh keinginan (yang tanpa disadari) untuk memiliki identitas diri dalam ruang social di mana ia berada.
Dengan demikian, pegelaran seni pertunjukan tidak akan menyimpang jika pergelaran seni pertunjukan dijadikan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat.
Hasta Indriyana dalam Suara Karya Online (Edisi Sabtu, 3 Nopember 2007) bahwa seni pertunjukan (khususnya teater) merupakan sebuah media pendidikan bagi masyarakat. Itu artinya mau tak mau mesti menyinggung Paulo Freire. Pendidikan yang dimaksudkan adalah pendidikan yang menjadi wadah pembebasan kesadaran atas suatu realitas yang didominasi oleh elite politik. Kesadaran yang dimaksudkan Freire berarti usaha mengembangkan kesadaran pasif dan reseptif ke arah kesadaran kritis agar manusia terus-menerus bertindak sebagai subjek yang mengubah dunia, memasuki sejarah dan mengembangkan kebudayaan.
Freire menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai proses penyadaran (pendidikan pembebasan. Hal yang mendasari pemikiran Freire ini adalah keyakinan bahwa setiap manusia memiliki kemampuan dasariah untuk mengubah dan mengarahkan dirinya sendiri. Oleh karena itu pendidikan hendaknya membangkitkan kesadaran kritis peserta didik serta mampu mentransformasikan struktur masyarakat yang menindasnya. Untuk itu, dalam pendidikan jenis/model ini, peserta didik hendaknya diarahkan untuk peduli terhadap masalah sekitar, belajar dari realitas masyarakatnya sehingga kemudian menjadi agen revolusi untuk mengubah struktur ketidakadilan yang mungkin terjadi.