29 April, 2009

Plencung Two Teater Ruang

Syahrul Q

Susuri jalan basah, karena gerimis baru saja usai. Hingar-bingar kota Jogja yang katanya kota budaya, dipenuhi oleh kerlip lampu kota ala modern. Sepanjang jalan, terlihat toko-toko berjejeran, berjualan barang-barang ala modern pula. Pemandangan yang paling banyak terlihat adalah counter-counter HaPe, berjualan pulsa serta berbagai pernak-pernik accessories HaPe yang saat ini telah menjamur, bahkan seolah menjadi kebutuhan pokok melebihi kebutuhan makan.

Lampu merah menyala di traffic light. Beberapa kendaraan berhenti dengan patuh. Seorang pengamen jalanan menyanyikan lagunya setengah, lalu mendongakkan telapak tangannya buru-buru, karena ada dering HaPe di kantong celananya. Aku tidak terlalu peduli, karena khawatir, gerimis sepertinya akan turun lagi, dan jika motorku kena hujan, alamat macet dan tidak akan sampai tujuan.

Beberapa saat kemudian, akhirnya tiba di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja, Kasihan Bantul. Sebuah tempat yang agak sepi, dan jauh dari hiruk-pikuk kota Yogyakarta. Di sana, aku bertemu dengan orang-orang hebat yang melibatkan diri dalam dunia kesenian. Sayangnya mereka tidak mengenalku, karena memang aku tidak terkenal seperti mereka, dan itu tentu membuatku lebih leluasa memperhatikan semua peristiwa yang terjadi, dan tidak menuntutku lebih banyak ngobrol sana-sini, dari pada mempersiapkan diri untuk menyaksikan Teater Ruang.

Ya. Bagiku, menonton teater harus memiliki persiapan tersendiri, mengumpulkan semua energi, kemampuan intelektual berbaur pengalaman, karena menonton teater tidak seperti menonton hiburan semata. Menonton teater adalah melebur dalam cerminan keseharian kita sendiri, dan setelah pulang nanti, kita bisa merenung kembali, lebih banyak berfikir, lalu memberi perbaikan pada diri yang tentu penuh dengan alpa.

Gelap. Lampu panggung mati total. Kerlip-kerlip lampu merah kecil hanya berasal dari para photographer yang siap mengambil gambar. Ada juga sinar dari sebagian cewek-cewek yang memainkan HaPe, karena tidak terbiasa dalam keadaan gelap seperti itu. Sejenak kupejamkan mata, menghirup suasana mistis yang sepertinya datang menghampiri. Sempat aku menduga, Teater Ruang akan mementaskan teater yang berbau mistis.

Sekitar 6 cahaya korek (kayu) api menyala bersamaan di panggung. Lalu mati. Korek api menyala lagi. Mati lagi. Menyala, kemudian mati lagi. Di belakang, di antara penonton, sebuah korek api menyala, lalu mati. Kembali di panggung korek api menyala berkelebat-kelebat, lalu mati. Disambut dengan korek api dari anak kecil yang berada di antara penonton. Seperti itu berlangsung beberapa saat, lalu mati.

Kembali kupejamkan mata, mengingat masa kecil dulu yang senang sekali memainkan korek api saat listrik mati. Anehnya hingga saat ini, jika listrik mati, kita selalu membutuhkan korek api, lalu menyalakannya, agar suasana gelap kembali tersinari. Gelap, terang, itulah kehidupan kita. Dan saat itu, aku berada di antara keduanya.

Anak kecil yang menyalakan korek api tadi bergerak, melangkah menuju panggung. Ia menyanyikan lagu jawa kuno, seperti mantra-mantra kesedihan atau kegalauan. Jujur, aku kurang mengerti kalimat-kalimat itu (karena aku bukan orang Jawa), namun lantunan lagu itu mampu menyedot bulu kudukku, merinding.

Anak kecil itu menyalakan api (seperti obor) di panggung. Dan hanya itu cahaya yang digunakan selama berlangsungnya pementasan. Kembali anak kecil bersuara (menggunakan bahasa Jawa). “…mas besar, aku ini sopo? Mas besar.. mas besar… mbokku sopo… mas besar mas besar…bapakku sopo? Mas besar mas besar…”

Pertanyaan yang sangat filosofis dilontarkan oleh anak sekecil itu. Mempertanyakan kembali hakikat kehidupan seseorang, layaknya Socrates atau bahkan Thales yang sekitar ratusan sebelum Masehi mempertanyakan hal yang sama. Pertanyaan itu segera memenuhi otakku yang mulai pening. Pertanyaan itu sering kali kumunculkan di berbagai kesempatan, namun sangat sedikit yang bisa menanggapinya dengan serius. Dan anak kecil itu menyadarkanku, betapa bangsa ini jarang sekali mempertanyakan hakikat keberlangsungan hidupnya.

Pementasan terus berlangsung dengan berbagai eksplorasi tubuh yang luar biasa dari para pemain. Mereka melakukan berbagai aksinya dalam suasana remang-remang itu. Cahaya obor yang terus menyinari seisi panggung sangat membantu membentuk symbol-simbol yang ingin disampaikan oleh sutradara (Joko Bibit), tanpa dibantu oleh lighting elektrik lainnya.

Dialog berikutnya kembali terlontar dari actor kecil itu. Masih menggunakan bahasa Jawa, mengemukakan peristiwa terjadinya banjir di berbagai daerah, seolah peristiwa banjir itu sedang ia alami sendiri. Suara teriakan anak kecil yang histeris minta tolong, memanggil-manggil mbok dan bapaknya, membuatku semakin merinding.

Peristiwa banjir memang sering kali terdengar di media, bahkan sangat sering, seolah menjadi sarapan pagi. Banjir di Jakarta, peristiwa Situ Gintung, menguapnya sungai Bengawan Solo, banjir di daerah Sumatra, di Jawa, dan berbagai daerah lainnya selalu terjadi, berulang kembali, terjadi lagi, dan tidak pernah ditangani secara serius. Banjir kembali terjadi, sumbangan berupa uang dan sembako berdatangan (kadang telat, terutama dari pemerintah), setelah itu selesai. Tidakkah terpikir bagaimana menanganinya agar tidak terjadi banjir lagi? Berbagai elemen melakukan penelitian, lalu hasilnya kosong. Kalupun ada usul yang bagus, tidak akan digubris, selama usul itu tidak menguntungkan bagi pemerintah. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah tidak ada dana, tapi untuk kampanye yang menghabiskan ratusan triliun selalu ada.

Kembali ke pementasan Teater Ruang. Yang menjadi aneh adalah, banjir yang diungkapkan anak itu bukan ‘hanya’ banjir dari air, tetapi banjir HaPe, banjir TV, banjir Kulkas, banjir motor, banjir mobil, dan banjir berbagaio modernitas lainnya. Dan itu disebabkan oleh jebolnya tanggul atau bendungan yang dimilikinya. Tentu saja, tanggul yang dimaksudkan juga bukan semata tanggul biasa, tetapi filter nurani dalam menerima berbagai kebudayaan yang masuk dari luar.

Sekilas tergambar betapa ngerinya tanggul jebol di Sidoarjo yang membuat Lumpur Lapindo menenggelamkan perkampungan sekitarnya. Sayangnya, peristiwa itu tenggelam dari media yang lebih sibuk mengurusi calon pemimpin negeri ini yang sibuk mencari koalisi dalam meraih kekuasaan. Sementara di penampungan pengungsi di sana, masih harus bersama-sama menggunkan fasilitas umum yang disediakan ala kadarnya. Tidak jarang terdengar teriakan-teriakan dari para pengungsi yang sudah semakin stress. Anehnya media lebih suka menyoroti stressnya para caleg gagal.

Jebolnya tanggul dalam menyaring budaya luar yang masuk ke negeri ini membuat para generasi kita semakin haus akan produk-produk luar negeri yang sangat menjanjikan itu. Gonta-ganti HaPe menjadi trend. Bahkan Wapres kita tidak mau kalah, segera belajar menggunakan blackberry, ingin menyaingi Obama yang menang pemilu kemarin, meski Wapres kita masih sedikit GATEK (gagap teknologi).

Singkat cerita, pentas pun usai. Para penonton pulang dengan membawa kenangan masing-masing. Para wartawan sibuk wawancara dengan para pemain dan sutradara. Aku sendiri masih terpaku, merenung, dan tidak bisa bergerak, karena rasa merinding itu masih menyelimuti. Hingga para petugas panggung hendak menggulung tikar, baru aku menyadarkan diri untuk bengun dan pulang.

Di jalan, gerimis masih mengancam. Hal ini menuntutku harus segera sampai di rumah. Tapi, traffic light berwarna merah menghalangi laju motorku. Kembali kumelihat beberapa pengamen jalanan, menyanyikan lagunya setengah, lalu mencondongkan tangan berharap ada pemberian dari pengendara yang terjebak lampu merah. Di pinggir jalan, beberapa pengamen lain sibuk sms dan memainkan HaPe. Di sepanjang jalan, kota Yogyakarta, yang katanya kota budaya, masih terlihat sangat ramai, karena kerlap-kerlip lampu kota dan dari toko-toko penjual produk, masih buka.

Dalam hati kubergumam, “ah.., Teater ruang. Ruangmu sepi. Ruangmu hening. Tapi dari sepi yang hening itu aku merasakan kebanjiran pencerahan nurani.”

Tidak ada komentar: