17 Februari, 2009

LAKUKAN HAL YANG SEDERHANA DENGAN KEKUATAN CINTA YANG BESAR

M. Syahrul Qodri

Sore itu, senja diliputi mendung dari selatan bergulung-gulung gelap, menandakan hujan akan segera turun menerpa permukaan bumi Yogyakarta. Hujan, senantiasa membawa ingatanku kepada masa kecil, bermain air, ceria tanpa beban, apalagi jika sempat main bola di jalanan yang sepi. Jika hujannya turun di waktu malam, orang-orang tua, khususnya kakekku akan becerita banyak tentang berbagai hal, dongeng-dongeng misterius yang menciutkan nyali, namun menumbuhkan imajinasi yang luar biasa tinggi.

Sore itu, di saat yang bersamaan, SAC (Saturday Acting Club) tengah mempersiapkan pementasan yang berjudul GIFT (Dongeng Cinta di Musim Hujan). Setelah malam mulai bergulir, tanpa peduli akan hujan yang mengancam perjalanan, kubergerak menuju Room Mate Visual Art Curatorial Lab, tempat pertunjukan belangsung. Hujan menderaku dalam perjalanan, dan terasa sangat menggangu, namun langkahku tidak surut ke pertunjukan.

Singkat cerita, pertunjukan dimulai. Hujan masih turun waktu itu, dan Oh, alangkah enaknya suasana remang2, hujan gemericik di atas genteng, lalu Dongeng Musim Hujan bergulir kata demi kata.

Pentas (teater) itu memang berupa cerita-cerita yang memiliki makna dalam, yang langsung menohok ke dalam relung setiap penontonnya. Dongeng Musim Hujan yang diceritakan saat hujan berlangsung memiliki arti tersendiri, persis seperti cerita dongeng tentang seorang pemuda yang memamerkan hatinya, namun kalah oleh hati seorang tua yang penuh tambalan. Tambalan hati itu disebabkan karena ia merobeknya sendiri, lalu memberikan kepada orang lain, dengan tulus tentunya, lalu orang lain memberikan kembali hatinya, sehingga hati demi hati robek sana-sini akibat dari saling memberi kasih saying yang didasari ketulusan.

Suara petir menyambar di atas gedung. Seorang penonton wanita di dekatku merasa kaget. Kuperhatikan wajahnya yang pucat berlumuran air mata. Ia berbisik di telingaku, “…pentas ini…, aku teringat pada masa kecilku yang indah…”. Sementara itu, beberapa saat kemudian, seorang gadis manis di belakangku yang ditemani kekasihnya, mukanya memerah seperti tersipu.

Kekasihnya mencubit pipi gadis itu sambil berbisik, “… dasar egois…!”. Entah apa maksudnya, tapi yang ada di panggung saat itu adalah perdebatan sepasang kekasih tentang suara ayam dan bebek. Kekasih yang diliputi oleh segunung cinta dan bertaburan asmara itu, akhirnya menyepakati bahwa “wek…wek…wek…, adalah suara ayam”, alias bukan "suara bebek".

Pentas itu memang mampu membawa para penontonnya untuk berfikir kembali tentang cinta, tentang hati mereka, tentang ketulusan mereka, dan tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk cinta. Hal ini menunjukkan suatu kesuksesan yang luar biasa bagi SAC. Pada dasarnya penonton adalah pencipta kreatif makna (mereka tidak sekedar menerima begitu saja makna-makna tekstual) dan mereka melakukannya berdasarkan atas kompetensi kultural yang dimiliki sebelumnya yang dibangun dalam konteks bahasa dan relasi sosial Chris Barker (2000:281).

Menonton seni pertunjukan adalah sebuah tindakan atau praktek individu/kelompok dengan membawa dan mempertaruhkan berbagai bentuk modal yang dimilikinya dalam ranah seni pertunjukan, yang pada akhirnya secara tidak disadari menjadi habitus yang melekat pada diri seseorang/kelompok. Dalam hal ini, rumus generatif yang diajukan oleh Bourdieu (habitus x modal) + ranah = praktek terurai bersama kenyataan yang ada di masyarakat (Qodri, 2008). Berarti, masyarakat datang menonton bukan dengan harapan kosong. Mereka memiliki modal sosial dan modal ekonomi yang akan mempengaruhi pandangannya terhadap sebuah pertunjukan.

Dalam hal ini, SAC mampu merangkul penontonnya, membuainya dalam lingkaran dongeng yang secara langsung menohok ke dalam relung jiwa, memaksanya berfikir kembali khususnya tentang cinta, tentang hati mereka, tentang ketulusan mereka, dan tentang apa yang bisa mereka lakukan untuk cinta. Dengan kata lain, meski hujan mengancam, tetapi penonton hadir dari berbagai kalangan, dan justru hujan itulah yang memberi nuansa semakin terasa.

Sang pendongeng mengatakan, “…lakukanlah hal-hal yang kecil. Hal-hal yang sederhana. Tetapi lakukanlah itu dengan kekuatan cinta yang besar..."….

07 Februari, 2009

Kontroversi UU BHP

Eko Prasojo *)
Guru Besar FISIP UI dan anggota MWA UI

Rabu (17/12) lalu DPR mengesahkan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP). Pengesahan UU tersebut menimbulkan sejumlah polemik dan kontroversi.

Bahkan sejumlah mahasiswa di Makassar dan Jakarta ramai-ramai berdemo menolak UU tersebut. Mengapa UU BHP tersebut menimbulkan kontroversi dan mengapa DPR berkeras untuk mengesahkan UU tersebut? Apa manfaat dan kerugiannya bagi dunia pendidikan kita? Tulisan ini mencoba memberikan satu perspektif singkat mengenai pertanyaan-pertanyaan itu.Tentu saja akan ada perspektif lain dalam melihat UU BHP.

Otonomi atau Liberalisasi?

Sejak awal disiapkan, RUU BHP ”yang merupakan amanat UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional” memang menuai berbagai persoalan. Dominasi isu yang muncul adalah apakah negara bermaksud melepaskan tanggung jawab konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar 1945.

Isu ini semakin kuat jika dikaitkan dengan gejala liberalisasi (neoliberalisme) ”atas nama profesionalisme dan korporasi” yang sudah terjadi pada sektor-sektor yang lain melalui privatisasi. Apalagi di dalam draf-draf awal RUU BHP tersebut dimungkinkan dan dimudahkannya lembaga pendidikan tinggi asing mendirikan BHP di Indonesia melalui kerja sama dengan BHP Indonesia yang telah ada.

Pasal ini memiliki sisi positif untuk meningkatkan daya saing pendidikan tinggi untuk menyerap pengetahuan pendidikan tinggi asing, tetapi juga dapat memiliki dampak negatif berupa liberalisasi pendidikan tinggi yang dapat menyebabkan intervensi dan penguasaan pendidikan oleh lembaga pendidikan tinggi asing.

Pasal ini telah dihapus dalam UU BHP yang ditetapkan oleh DPR. Kontroversi lainnya adalah seputar biaya pendidikan yang dikhawatirkan akan semakin mahal dengan terbentuknya BHP. Kekhawatiran ini berasal dari praktik perguruan tinggi badan hukum milik negara (PT BHMN) sebagai species BHP yang selama ini terjadi dan bertendensi memarginalisasi anak-anak tidak mampu untuk mengenyam pendidikan.

Perjalanan dan perenungan penulis terhadap praktik PT BHMN selama ini menyimpulkan bahwa pembiayaannya masih berpijak pada biaya operasional pendidikan (BOP) yang dipungut dari peserta didik. Hal ini terjadi karena berbagai persoalan, seperti aset PT BHMN yang masih dimiliki oleh negara menyebabkan kesulitan mengembangan sumber penerimaan lain dari ventura bisnis.

Di sisi lain, betapa sulitnya melakukan perubahan budaya penyelenggara (baik pengelola, dosen dan tenaga kependidikan) dari budaya birokrasi ke budaya korporasi. Jalan mudah yang selama ini ditempuh adalah membebankan pembiayaan operasional kepada peserta didik.

Kekhawatiran ini cukup beralasan, meski selama ini PTBHMN secara terbatas juga memberikan fasilitas bantuan pendidikan dan beasiswa kepada peserta didik. Demikian besarnya kekhawatiran masyarakat terhadap mahalnya biaya pendidikan tersebut, para wakil rakyat di DPR merasa perlu untuk mencantumkan kewajiban pemerintah dalam pembiayaan pendidikan oleh BHP.

Dalam draf terakhir yang disahkan pada 17 Desember 2008 lalu, pasal-pasal tentang kekayaan dan pendanaan pendidikan oleh BHP diarahkan untuk memperkuat peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Misalnya saja kekayaan BHP pemerintah/pemerintah daerah (BHPP dan BHPPD) merupakan kekayaan pendiri (negara/pemerintah daerah) yang dipisahkan (Pasal 37).

Sedangkan semua bentuk pendapatan dan sisa hasil usaha kegiatan maupun penggunaan tanah negara tidak termasuk pendapatan negara bukan pajak (Pasal 38) dan harus ditanamkan kembali ke dalam BHP untuk tujuan peningkatan kualitas pendidikan.Khusus untuk pendanaan pendidikan bagi BHPP dan BHPPD, pemerintah dan pemerintah daerah menanggung paling sedikit 1/3 biaya operasional untuk pendidikan menengah dan paling sedikit 1/2 biaya operasional untuk pendidikan tinggi (Pasal 41 ayat 4 dan 6).

Biaya penyelenggaraan pendidikan yang ditanggung oleh peserta didik dalam BHPP dan BHPPD paling banyak 1/3 dari biaya operasional. Dalam pasal lain UU BHP juga mewajibkan penyelenggara pendidikan untuk memberikan beasiswa, bantuan pendidikan, kredit mahasiswa dan pemberian pekerjaan kepada peserta didik (Pasal 40), dan wajib menjaring dan menerima warga negara Indonesia yang memiliki potensi akademik tinggi dan kurang mampu paling sedikit 20% dan jumlah keseluruhan peserta didik.

Hal menonjol dan sampai saat ini tetap menjadi ganjalan dalam UU BHP adalah berlakunya ketentuan BHP bagi penyelenggara pendidikan swasta oleh masyarakat. Seluruh ketentuan BHP berlaku bagi BHP masyarakat (BHPM), kecuali mengenai ketegasan bantuan pemerintah untuk biaya investasi, beasiswa dan biaya operasional pendidikan sebagaimana berlaku bagi BHPP dan BHPD.

Pemerintah pusat dan pemerintah daerah memang ikut menanggung dana pendidikan untuk BHPM dan BHP penyelenggaraan (yayasan dan perkumpulan) dalam bentuk bantuan pendidikan, tetapi hal ini hanya berlaku bagi pendidikan dasar dan tidak ditentukan besaran minimal bantuan tersebut. Dapat dikatakan bahwa proporsi pengaturan pasal-pasal dalam UU BHP lebih condong dan lebih cocok untuk lembaga pendidikan pemerintah ketimbang lembaga pendidikan swasta.

Menuju Implementasi UU BHP

Berbagai kontroversi di atas seharusnya bermuara pada satu pertanyaan, dapatkah UU BHP ini diimplementasikan untuk menjamin kualitas pendidikan kita yang semakin baik?

Penulis sendiri berposisi mendukung penguatan profesionalisme otonomi penyelenggaraan pendidikan, tanpa harus melepaskan tanggung jawab negara terhadap pendanaan pendidikan. Tentu saja dengan berbagai catatan, bahwa implementasi UU BHP tidak boleh menyebabkan komersialisasi pendidikan yang dapat membatasi hak-hak masyarakat “termasuk golongan tidak mampu” untuk menikmati pendidikan.

Pun bantuan dan subsidi yang diberikan oleh negara terhadap pendidikan tidak boleh menyebabkan hilangnya kreativitas dan inovasi lembaga pendidikan untuk melakukan knowledge sharing dan knowledge creation. Jika dilihat dari pasal-pasal dalam UU BHP, sejatinya cukup melegakan bahwa tanggung jawab negara dalam pendidikan tidak hilang dan dihilangkan.

Demikian pula tuntutan UU BHP untuk akuntabilitas, keterbukaan, partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan. Yang justru dikhawatirkan adalah kemampuan negara untuk membiayai 1/3 biaya operasional (pendidikan menengah) dan 1/2 biaya operasional (pendidikan tinggi) bagi seluruh BHPP dan BHPPD. Nilai itu belum termasuk biaya investasi, beasiswa, dan subsidi lain.

Dana ini juga belum termasuk bantuan pemerintah dan pemerintah daerah kepada BHPM. Jika pemerintah tak memiliki dana cukup untuk membiayai itu semua, maka kekhawatiran sejumlah mahasiswa dalam praktik PT BHMN selama ini akan terjadi. Hal lain yang cukup mengganggu, sering kali implementasi UU terhambat oleh buruknya kapasitas sistem birokrasi negara.

Jika bantuan dana tersebut dilakukan melalui birokrasi negara, bukan tidak mungkin proses pendidikan secara keseluruhan juga akan terwarnai oleh buruknya kompetensi dan rusaknya moralitas birokrasi. Kepada seluruh pemangku kepentingan penulis menghimbau, mari kita diskusikan polemik BHP ini dengan kerangka dan tujuan yang sama: untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi

02 Februari, 2009

FKIP UNRAM

DARI: TERSERAH KAMU

Bagaimana kabar kampus kita?
Apakah masih hijau dan segar seperti biasanya? Lalu suara gitar melantun seiring dengan lagu kenangan bersama….”Lingkaran aku cinta padamu”.
Ataukah sebaliknya menjadi panas membara, terbakar oleh amarah-amarah yang tak terduga?

Kadang keinduan datang menghampiriku, menelusup ke dalam relung hati, karena ada harapan yang selalu terngiang, kapan kita maju, berjalan, dan berlari mengejar bulan dan matahari…

Aku cuma bertanya....,

MENGUAK TRADISI CINA PADA MASA 1918-1926 DALAM ‘CATATAN HARIAN ORANG GILA’ KARYA LU XUN

Oleh: Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)



Sekian banyak karya sastra dunia selalu menggambarkan latar belakang asal-usul karya sastra itu, baik dari daratan Eropa, Timur Tengah maupun Asia. Tak dapat dipungkiri, karya sastra dikenal sebagai pencerminan masyarakat yang ada dalam karya tersebut sehingga kita dapat memahami secara tidak langsung situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi background cerita pada sebuah karya sastra.

Cerpen Lu Xun yang berjudul ‘Catatan Harian Orang Gila’ adalah salah satu karya sastra realis yang mendobrak tradisi masyarakat Cina dan memaparkan secara gamblang kondisi rakyat Cina yang begitu memprihatinkan. Cerpen tersebut dilahirkan pada tahun sekitar 1918 sampai 1926 dimana pada masa itu kondisi Cina bergantung pada para penguasa dan para intelektual yang mendominasi kehidupan rakyatnya sehingga sangat tampak ada suatu kermarjinalan atau pembagian kelas-kelas status sosial terhadap yang lemah maupun yang kuat, terhadap penguasa dan yang dikuasai. Oleh karena itu, sastra Cina dikatakan indah ketika karya-karya yang dimunculkan berdasarkan kenyataan yang penuh dengan konflik, kemudian menjadi sebuah transformasi informasi terhadap para penikmat sastra.

Begitu variannya permasalahan politik dan sosial yang nampak sehingga memunculkan suatu ideologi terhadap pengarang (Lu Xun) dalam merespon kondisi-kondisi seperti itu. Tak heran Lu Xun dijuluki sebagai sebuah simbol ‘representasi ideologi komunis dalam sastra’ disebabkan oleh karya-karyanya yang menunjukkan kesetiaannya terhadap rakyat kecil yang membenci penindasan dan anti-penjajahan.

Lu Xun lebih memilih judul ‘Catatan Harian Orang Gila’. Mengapa memilih kata ‘gila’? ia merasa dengan menggunakan kata ‘gila’ pembaca akan lebih mengenal jauh asumsi-asumsi yang tidak hanya merujuk kepada kata ‘gila’ itu sesungguhnya karena sebenarnya ‘gila’ dapat dilihat dari perspektif mana saja. Pada cerpen ini, dikisahkan tokoh Aku yang memiliki kelainan jiwa (gila) karena ia memandang apapun di sekitarnya adalah hal yang benar-benar ganjil. Sikapnya tersebut merupakan bentuk real bahwa ia benar-benar gila. Pandangannya mengenai semua orang yang ada di sekitarnya dikatakannya sebagai orang-orang yang dapat membunuhnya kapan saja dan selalu memusuhinya sehingga kondisinya setiap hari selalu merasa resah serta menganggap apapun yang terjadi pada dirinya dapat membuatnya celaka kapan saja. Mungkin dapat dikatakan kondisi seperti ini adalah orang yang paranoid secara berlebihan sehingga menjadi gila. Kegilaan tersebut dialami oleh tokoh Aku semenjak ia menginjak-injak catatan Tuan Ku Chiu (seorang pada masa Kuno yang menjadi sejarah panjang tentang penindasan feodal di Tiongkok). Pemilik catatan itu (Tuan Chao) tentu saja menjadi geram sekaligus tidak senang dan itu dirasakan oleh tokoh Aku, sehingga dimanapun mereka berpapasan tokoh Aku selalu merasa takut.

Selain itu, Lu Xun berpikir dengan menggunakan kata ‘gila’ karena orang gila pada dasarnya dapat bebas melakukan apa saja dan berkuasa atas dirinya sendiri tanpa harus memikirkan pandangan orang lain mengenai dirinya. Tidak menutup kemungkinan kondisi seperti itu ‘dapat membahayakan orang lain’. Bila dikaitkan dengan jalan cerita, ‘gila’ bisa saja mengancam pada satu sistem kekuasaan yang sudah baku karena dapat memporakporandakan sistem tersebut sehingga mengancam suatu kepemimpinan seseorang. Secara langsung telah memperlihatkan kepada pembaca bahwa Lu Xun menyindir kekuasaan pada masa itu yang lebih mementingkan ‘isi perut’ saja daripada rakyat jelata yang mengalami kesengsaraan tiada akhir sekaligus menyindir rakyat Cina yang saat itu hanya bisa tunduk dan diam saja menyaksikan kebengisan para penguasa tanpa melakukan tindakan apapun (reaksi masyarakat Cina yang lebih memilih hegemoni penguasa daripada keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Cina).

‘Gila’ dalam cerpen ini berarti ‘gila’ harta dan ‘gila’ kekuasaan. Para penguasa sibuk menata harta bendanya agar tak berkurang sedikit pun, jadi lebih sibuk memikirkan dirinya untuk bagaimana supaya terus bertambah kekayaannya daripada memikirkan kemiskinan rakyat yang terus menjadi akibat kerakusan para penguasa itu. Selain itu, para penguasa dan kaum revolusioner serta para intelektual sibuk mempertahankan kekuasaan agar tidak lengser dengan cepat dan kekuasaannya tersebut tetap memiliki kharisma di mata rakyat padahal kenyataannya bobrok. Sindiran-sindiran itu terasa sangat jelas dalam cerpen ini sehingga tokoh Aku hanya dijadikan sebagai alat untuk pembaca dapat memahami betul-betul isi cerita secara keseluruhan meskipun tokoh Aku dalam cerita dinyatakan gila (tidak waras) yang sesungguhnya.
Pada cerpen ini, kita juga dapat melihat pemilihan kata-kata seperti kanibal (makan orang) yang selalu dipergunakan Aku dalam ketakutannya setiap bertemu orang-orang di sekitarnya. Sebetulnya penggunaan kata kanibal itu merupakan simbol bahwa orang-orang pada masa itu memiliki sifat ‘kanibal’ (makan orang), disini dapat diartikan sebagai kerakusan dan ketamakan para penguasa hanya untuk melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang dapat mengancam kedudukannya atau jabatannya sehingga tanpa basa-basi selalu menghalalkan segala cara agar semuanya itu terwujud. Seperti pada kutipan: “Aku sadar bahwa semua perkataan mereka mengandung racun dan di setiap lipatan tawa mereka terselip pisau belati yang siap menyayat. Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal.” (Lu Xun, 2007: 6). Pernyataan-pernyataan itu menjadi lebih jelas maknanya ketika tokoh Aku membaca sebuah catatan. “Aku mencoba untuk mencari, tapi sejarah yang tersaji di hadapanku tidak kronologis. Yang tertulis secara acak di setiap halaman dipenuhi kata-kata: ‘Kebajikan dan Moralitas’. Karena tidak dapat tidur juga, maka aku membaca dengan teliti selama separuh malam sampai aku mulai melihat kata-kata di antara garis-garis, seluruh buku telah dipenuhi dengan dua kata: ‘makan orang’. (Lu Xun, 2007: 7)

Dengan demikian, cerpen Lu Xun yang berjudul ‘Catatan Harian Orang Gila’ dapat dikatakan sebagai perwujudannya protes pengarang terhadap kondisi negeri Cina pada masa itu dimana para penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri atau egois sedangkan rakyatnya berpikiran feodal di tengah-tengah ketamakan para penguasa itu. Lu Xun dengan lantang menyuarakan sindirannya melalu sastra dengan menggunakan kata-kata kanibal (makan orang) dan seekor serigala bentuk para penguasa yang tak ubahnya seperti kata-kata itu. Karya Lu Xun yang fenomena ini menjadi sebuah perbandingan pada karya-karya sastra dunia lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer dari Indonesia, Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol dari Rusia, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi dari Mesir dan sebagainya.

Daftar Pustaka
Lu Xun. 2007. Catatan Harian Orang Gila. Jalasutra: Yogyakarta

01 Februari, 2009

WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’ (Bagian 2 Habis)


Oleh : Syukrina R.(rina_sf@yahoo.co.id)

Aku tetap ‘Bernama’. Tegak berdiri di atas tebing curam yang dibawahnya banyak ulat-ulat busuk yang dijelma dari simbol kekuatan palsu. Aku terluka tapi bertahan. Rintihan anak kecil di pinggir kali itu memacu asa yang bersalah akan pengharapan.
Aku coba menjadi guru. Merasa bangga karena mengalirkan ilmu yang telah kuperoleh lebih dulu dari mereka. Kuajarkan mereka segalanya kecuali membaca. Agar mereka nantinya tak dapa membaca papan-papan iklan yang isinya kata-kata kiasan belaka. Aku tak mau mereka hidup dengan mimpi-mimpi yang tak pasti, aku tak mau mereka hidup di dalam permainan ulat-ulat busuk itu. karena semuanya bohong, penipu dan curang! Kini dunia dipenuhi oleh ulat-ulat yang bangkainya merajalela.

Suatu hari seorang muridku bertanya,
“bu... apakah yang dimaksud dengan kata?”
“Kata adalah pisau dapur.”
“Lalu pisau dapur itu apa?”
“Pisau dapur itu senjata.”
“senjata itu apa?”
“Senjata itu perjuangan”
“perjuangan itu apa?”
“Perjuangan itu kemerdekaan.”
“Kemerdekaan itu apa?”
“Kemerdekaan itu negara.”
“Negara itu hilang... hilang... hilang...”

Aku telah kehabisan kata-kata namun muridku tak menyadari bahwa dirinya pun berakhir dengan kehilangan. Kehilangan segalanya. Kehilangan cita, kehilangan rasa, kehilangan kata-kata. Lalu apa lagi yang paling pantas menyebutku pahlawan. Pahlawanku adalah aku. Aku tak pernah letih berdiri dengan satu kaki ini, karena kaki yang satunya melanglang buana mencari jati dirinya pada apa yang diperolehnya di puncak kerisauan sang malam. Maka sebutlah aku ini bendera yang terpajang karena ‘Bernama’. ‘Bernama’ apa saja yang dapat menjadikan dunia penuh cerita baru.

Kebangkitan seorang di saat itu tak bisa menjadi deretan pernyataan terhadap kisah kepunahan dunia. Mulailah tiba kita menatap waktu demi waktu yang sedikit menepis mimpi. Aku lelah beranjak dengan angan dan harapan semu. Aku terlalu baik mengaku sebagai seorang guru, aku tak cocok mengajarkan bagaimana caranya menjadi seorang yang munafik. Lain di hati bohong juga yang diucapkan.

Hari-hari berlalu seiring ku memahami langkah kakiku. Sampai ku tiba di tepi tebing curam yang terjal. Dari semua yang pernah ku perbuat ternyata inilah yang dapat membuatku melihat sosok ‘Bernama’. Tanpa harus perlu menjadi ‘musang berbulu domba’. Di kabut hari cerah, aku melihat bayanganku sendiri yang sedang giatnya bertaruh menantang kehidupan. Tak ada guna atas semua yang telah kuabdikan. Saatnya sudah aku berlari, bukan merangkak dan menanti orang lain untuk menuntunku berjalan lebih cepat meski kedua kakiku buntung. Tak ada lain lagi sebuah imajinasi melekat pada buah pikiranku.

Masih ada tanganku yang mampu meraba setapak demi setapak perjalananku mencari jati diri. Tidak bergantung pada angin yang berhembusnya ke arah mana. Angin itu bisanya membawa ku ke arah sumber malapetaka yang ku tak tahu di mana ujung pangkalnya. Arahkan sedikit saja mata angin yang terlalu lama menghambat satu per satu jiwa ini. Mungkin aku tak dapat meretas mimpi buruk yang seakan menuntut janji-janji palsu padaku. Tentu saja hidup ini tak ubahnya imajinasi yang tersusun secara sistematis namun tak kiranya ada pengganjal. Tuhan tak diragukan keadilan-Nya, karena sampai saat ini Dia masih adil membagi mana awan dan mana kabut di atas ubun-ubunku. Aku tak pernah menyesal dengan peradaban yang sedang kacau-balau ini, dibaliknya ada setetes embun dari hari malam kemarin yang telah menyejukkan sendi-sendi kegelisahanku. Ku buang riwayat buruk ini hingga masanya berganti menjadi sebuah keabadian yang jauh tempatnya.

Aku terhenti di sini. Di ujung curam yang membawaku terbang bersama burung-burung. Aku tak mengharapkan hal-hal yang tak ingin ku ada pada perjalanan siang dan malam yang tak tentu. Akan kembali nanti cerita itu di saat tubuhku melayang di antara kabut kesunyian.

TAMAT