11 Juni, 2010

Bengkel Mime, Mengembalikan Aku pada Kenangan Indah Masa Kecil

Oleh: Syahrul Q


Malam itu, udara terasa begitu dingin karena hujan deras, baru saja usai. Jalanan masih basah dan kendaraan tampak begitu padat. Begitulah suasana malam minggu itu. Sementara aku, sendiri mengendara motorku dengan cepat, meliuk-liuk di antara kendaraan lainnya, mengejar waktu. Malam ini 29 Mei 2010, ada pertunjukan yang pasti seru. Teater Mime.

Aku datang ke Taman Budaya Jogja, tempat pertunjukan teater mime berlansung, berharap menemukan sesuatu yang “wah”, sesuatu yang baru, dan mendapatkan pencerahan serta pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memuaskan.

Pertunjukan sudah dimulai saat aku tiba di lokasi. Ada yang aneh. Suasana sudah dibangun di luar gedung pertunjukan, dengan adanya pertunjukan (sejenis repotoar). Aktivitas itu dimulai dari suara speaker toa, ucapan salam dari suara anak-anak yang hendak mengaji sore hari di musholla. Ada seorang ibu yang mencuci pakaian, sambil bersungut-sungut berantem dengan suaminya. Ada anak kecil yang berhias, ada pula pedagang kaki lima. Lalu suara riuh dari speaker toa, menggambarkan suasana pertandingan volly yang terkesan amat seru.

Aku yang (merasa) terbiasa menonton pertunjukan teater, merasa sedikit terganggu, karena fokusnya terlalu banyak, bahkan bisa dikatakan tidak memiliki fokus. Perlengkapan rumah tangga seperti panci, ember, wajan, dan lain sebagainya dikemas sedemikian rupa, membentuk properti pertunjukan. Dalam hati aku bergumam, pertunjukan macam apa ini?

Pertunjukan di lapangan itu berlangsung sekitar 15 menit. Lalau kami sebagai penonton diajak masuk ke dalam gedung. Namun, tidak langsung masuk ke area pertunjukan, melainkan berhenti di ruang loby. Di situlah pertunjukan kecil berlangsung kembali. Sebuah kursi dan meja dibawa oleh aktor dengan gaya unik, meliuk-liuk, dan sangat teatrikal. Kemudian muncul seorang laki-laki yang bergerak dengan kaku, seperti robot, atau lebih tepatnya seperti boneka. Beberapa saat kemudian, seorang gadis kecil yang cantik, lincah bergerak mendekati sang boneka, dan menawarkan payung mungil yang cantik pula.

Kembali aku bergumam, pertunjukan apa ini? Aku berusaha semaksimal mungkin membedah diri, menguras otak serta menggali pengalaman menonton teater, baik yang realis maupun yang absurd sekalipun. Tapi ini tidak termasuk dalam kategori teater seperti itu. Apakah ini bentuk baru? Ataukah ini adaptasi dari bentuk teater Sae? Ataukah ada bentuk lain yang belum aku ketahui?

Tiba-tiba seorang anak kecil yang ikut menonton waktu itu tertawa lepas, dan bercerita, berceloteh pada dirinya sndiri, “Wuiiichh... hebat....! Kursinya bisa melayang-layang.... aaaah.. ini sih ruang angkasa... ooo... ya ya... bonekanya hidup... hebat sekali....” Kira-kira seperti itulah celotehan histeris dari anak kecil itu. Dalam pertunjukan teater modern, tentunya tidak diperbolehkan anak kecil berceloteh seperti itu. Bahkan aku sempat berfikir dengan nada kesal, siapa yang membawa anak kecil ini menonton?

Pertunjukan di ruang loby diakhiri dengan seorang gadis bernyanyi riang tentang bintang-bintang. Suaranya begitu sederhana namun suara itulah yang membuat suasana menjadikanku seolah berada di alam mimpi. Penonton diajak masuk ke ruang pertunjukan, dan benar-benar seperti di ajak ke ruang mimpi, dengan setting panggung yang begitu rupa. Tapi tetap saja aku merasa bingung dan tidak tau harus memaknai pertunjukan ini seperti apa, atau menginterpretasinya bagaimana. Apalagi membaca booklet-nya yang sederhana, menceritakan tentang kisah percintaan antara putri embun dan pangeran bintang. Ah, bagiku ini adalah pertunjukan main-main.

Suara anak kecil tadi masih terdengar berceloteh riang dan dia sangat menikmati pertunjukan ini. Aku jadi teringat, sekaligus tersadar, bahwa pertunjukan ini tidak bisa aku nikmati secara teaterikal, apalagi dengan bejubel teori dramaturgi. Tidak akan bisa aku nikmati dengan terus berfikir mencari makna, pesan, visi, atau apa saja secara strukturalisme teater. Aku harus melepaskan diriku, membiarkan imajinasiku liar, layaknya anak kecil yang tadinya sangat menggangguku. Dan kini aku justru sangat berterima kasih padanya, telah menyadarkanku, untuk kembali menjadi anak kecil, karena anak kecil memiliki imajinasi yang luar biasa.

Begitulah. Pertunjukan berlangsung terus dengan berbagai macam peristiwa, kisah sederhana dari seorang putri yang diculik oleh manusia wajan. Lalu pangeran bintang menyelamatkannya setelah mendapatkan obat penyembuh luka dari putri bulan. Sebuah cerita dongeng klasik yang sederhana, dan hanya anak kecil yang bisa menikmati cerita klasik itu dengan nyaman. Artinya, akupun harus menikmatinya dengan membentuk diriku, menjadi seorang anak kecil, yang bebas berfikir dan berimajinasi liar.

Dari situlah aku mulai bisa memaknai setiap adegan, setiap properti, setiap perkakas rumah tangga yang menyatu dengan tubuh aktor, menikmati alunan suara dari putri bulan yang bergelombang, menggapai imajinasi tertinggi untuk berada di awang-awang. Aku melepaskan diri. Aku pasrah.

Pertunjukan berakhir dengan ending yang sederhana pula. Seorang anak kecil meniupkan peluit untuk mengakhiri perseteruan antara manusia wajan dengan pangeran bintang. Anak kecil yang begitu nakal, yang kadang menangis teriak ketika ibunya menyuruhnya membersihkan badan. Anak kecil itu seolah begitu bijak, dan itu membuatku kembali berfikir, mengapa tidak aku belajar dari seorang anak kecil?

Pangeran wajan memberikan bunga imajiner kepada putri embun. Begitu juga pangeran bintang, memberikan bunga mungil sebagai persembahan. Putri embun yang cantik ceria itu, justru memilih memberikan bunga pemberian itu kepada manusia panci yang selama ini selalu setia menjaganya setiap saat. Sontak saja aku tertawa lepas, bersaing dengan tawa anak kecil yang menonton di ujung belakang.

Putri bulan turun dari singgasananya sambil bernyanyi memeriahkan suasana, lalu semua aktor malambai, dan berakhir sudah pertunjukan aneh yang menyenangkan itu.

Usai pertunjukan, sutradara meminta penonton yang masih sempat meluangkan waktu untuk turut berdiskusi di ruang loby. Ada Afrizal Malna, seorang tokoh teater yang namanya cukup terkenal. Ada pula tokoh-tokoh teater dan seniman lainnya, seperti Mas Yudi, Mas Sony, dan lain-lain yang sudah tidak asing lagi ikut serta dalam diskusi itu.

Beberapa orang mengeluarkan pendapatnya, terutama tentang kerumitan serta proses penciptaan pertunjukan teater mime yang baru saja ditonton. Berbagai teori dimunculkan, berbagai persoalan lahir kembali, serta berusaha mencari berbagai macam kekurangan yang dirasakan dalam pertunjukan itu.

Sempat aku melirik kepada para pemain yang terlihat sangat lelah, meski terbersit dalam pikiranku, mereka pasti puas. Sayang sekali, kepuasan itu dihantam dan diusik dengan acara diskusi yang membingungkan. Aku sendiri ikut merasa bosan. Tapi untuk membuang rasa bosan itu, aku akhirnya angkat bicara.

“Pertunjukan tadi bagiku adalah pertunjukan yang luar biasa. Aku sangat menikmatinya, karena aku menjelmakan diri sebagai anak kecil yang tengah mendengar dongeng tentang putri embun, putri bulan, dan pangeran bintang, beserta perabotan rumah tangga yang dihidupkan. Tidak perlu dirumit-rumitkan dengan berbagai teoritis, dramaturgis, struktur, wacana, dan lain sebagainya. Bukankah kita datang ke sini untuk menyenangkan diri sendiri dan mencari kesenangan dalam menonton sebuah pertunjukan?”

Entah, apakah komentarku itu bisa mereka cerna atau tidak. Namun bagiku, memang semestinya pelaku presentasi sudah harus memikirkan cara agar orang yang datang menonton memiliki arah yang jelas, memberikan jembatan sebagai ruang imajinasi kepada penonton, agar penonton bisa menikmati pertunjukan itu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku presentasi. Lalu bagi penonton, datanglah menonton, untuk mengapresiasi sebuah karya seni, tanpa membawa masalah terlebih dahulu, apalagi mencari-cari kekurangan pada karya seni yang dinikmati. Artinya, penonton harus memiliki cara yang berbeda dalam mengapresiasi sebuah karya seni yang berbeda pula.

Memang, orang-orang postmodern menyatakan bahwa setiap orang bebas menginterpretasikan sebuah karya seni, namun ketika aku berkarya, aku juga memiliki keinginan agar karyaku bisa dinikmati orang lain secara bebas, namun terarah. Atau dengan kata lain, ada benang merah sebagai penghubung imajinasiku dengan penonton, ada jalan utama yang harus dilalui dalam menikmati karya yang aku ciptkan, meski apa yang didapatkan dan apa yang dimaknai dari setiap jalan yang ditempuh akan berbeda-beda.

Ah, kembali lagi aku berterima kasih kepada anak kecil yang tadinya sangat menggangguku dengan celotehannya. Aku harus menyadari, bahwa pelaku seni, pendukung seni (dalam hal ini penonton) serta kritikus seni harus belajar lagi untuk saling berhubungan, tanpa harus membuat jarak, menciptakan karakter eksklusif seniman, dan tanpa harus terjebak pada teoritis yang baku. Dari pertunjukan ini aku belajar banyak tentang cara pandang, dan cara berbeda dalam memaknai sebuah pertunjukan.

Selamat dan sukses buat bengkel mime, atas pertunjukan kalian.

Aku kembali pulang membawa senyum dan berjuta khayalan yang kubangun kembali, me-recall kenangan indah semasa kecil, menciptakan imajinasi sendiri dan bahkan menciptakan sendiri sebuah pertunjukan teater yang luar biasa dalam imajinasiku. Aku tertidur pulas malam ini, bersama mimpi dan sejuta khayalan.



_______________

Catatan: Tulisan ini adalah hasil dari pemikiranku tentang pertunjukan teater mime pada tanggal 29-30 Mei 2010, yang berjudul “PUTRI EMBUN DAN PANGERAN BINTANG, disutradarai oleh Andy Sri Wahyudi, dan dipentaskan di Concer Hall Taman Budaya Yogyakarta