31 Januari, 2009

WAJAHKU SISA DARI PERADABAN ‘BERNAMA’ (Bagian 1)

Oleh : Syukrina R.(rina_sf@yahoo.co.id)

Pagi ini aku terasa bimbang di antara tawanan masa. Aku masih berdiri di sela-sela takdir yang digariskan untukku. Di antara kerumunan orang-orang yang berlalu lalang untuk pergi ke tempatnya mencari nafkah. Aku pun sepertinya begitu. Segala gerak-gerikku adalah pekerjaanku meski tak menghasilkan uang. Aku bahagia dengan baju seadanya, kaki beralaskan sandal rombengan, wajah kusam, dan badan yang serba kumel. Aku terus berjalan menapaki jejak langkah kakiku sendiri tanpa henti dan tak berujung. Rangkaian peristiwa menyatu dengan barisan semut yang berderet di tepi tembok hitam itu. Entahlah sebenarnya mungkin aku lelah tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja oleh kata-kata malaikat yang selalu terngiang di telingaku. Aku tidak mengerti mengapa aku dilahirkan tapi aku yakin aku hidup karena satu tujuan yaitu kembali pada Tuhan.

Aku coba bekerja menjadi tukang sayur. Setiap hari aku bekerja atas nama ‘memenuhi kebutuhan’, atas itulah aku terpaksa berjuang menindas orang-orang dan hal-hal lainnya yang menghalangi keinginanku. Seperti biasa dengan gerobak sayurku aku berjalan menyusuri jalan, masuk gang keluar gang masuk jalan keluar jalan. Kenapa jalan juga harus tidak pasti sama halnya kehidupan yang tak pasti arah dan tujuannya. Ketika aku masuk gang di Jl. Sudirman, serobotan ibu-ibu memecahkan otakku. Sayur-sayur segar berontak tak rela dibunuh dengan tangan-tangan mereka sekaligus bangga untuk diperebutkan. Aku terdiam sejenak menyaksikan betapa rakusnya mereka terhadap dunia yang masanya mencemooh manusia. Kumpulan materi pun kudapatkan secara tak sengaja.

Keluar gang Jl. Sudirman sedikit berbelok aku mengalihkan perjalanan ke kompleks perumahan mewah di Jl. Soekarno. Aku tak banyak berharap dari penghasilan jualanku ini karena masih banyak yang senasib denganku, nasibnya tak seberuntung tikus-tikus got yang ada di depan rumah mewah itu. mungkinkah masih ada harapan untuk penjahat yang sekedar makan siap saji di restoran? Aku tetap tak percaya, sekarang ada penjahat berlandaskan modal kedok saja. Sudah gila memang hidup ini. Gila rasa, gila cipta, gila kekuasaan, gila kebatinan, gila sudah!! Bagaimana tidak gila, aku saja yang kerjaannya hanya jual sayur siang malam banting tulang tapi ternyata hasilnya tetap tak bertulang. Sayur ini, jualanku ini.... tidak ada bandingannya dengan harga diri yang diinjak-injak di emperan jalan itu. tak ada yang mesti harus kubanggakan selain nyawa yang ada dalam tubuhku ini, kebanggaan terhadap kesombongan yang penuh akan rasa optimis.

Tiba-tiba aku sampai di depan rumah besar yang memiliki dua atap terbuat dari genteng berkualitas luar negeri. Bodohnya aku ini, tukang gerobak sayur numpang lewat di depan rumah mewah yang bau akan wangi permusuhan dalam pergulatan sebuah konflik. Keluarlah seorang kaya berpenampilan elite bicara dengan nada menggurui.
“Negara sudah maju tetap saja rakyatnya tidak maju-maju, mangkanya jadi orang kaya dong biar bisa maju. Maju apa kek gitu... yang penting hidup tidak bergantung dari sebuah gerobak reot.”

Dengan sok cerdas dia bilang lagi.
“Sayur yang lebih sehat biasanya dikemas dengan sehat dan berada di tempat yang sehat pula. Buat apa beli di tempat yang biasanya hanya kotoran saja yang mampir.”
Aku tak semudah terpancing keadaan, aku tidak mau di cap sebagai orang miskin yang goblok.

“Negara tidak akan pernah maju jika rakyatnya tidak maju-maju menolong yang lemah. Yang lemah apa kek gitu.... yang jelas termasuk juga orang-orang yang masih bergantung pada sebuah gerobak reot.”

Aku tak perlu bersusuah payah menyusun kata dengan konsep sendiri.
“Sayur yang lebih sehat biasanya berasal dari hasil panen yang alami, bersih, dan tidak mengandung pestisida hanya untuk sebagai pengawet saja. Buat apa beli di tempat yang rupanya saja bersih tapi kandungannya mematikan peradaban.”
Seorang kaya itu hanya diam dengan muka sinis serta kehilangan kata-kata. Bisanya cuma meludahi kata-kata yang sudah ia lontarkan. Kasihan orang kaya itu.

Aku tak pernah diajar meratapi nasib yang begini-begini saja, tapi aku diajari cara seharusnya menyikapi masalah yang datang. Bagai musim hujan yang datang tak menentu dan bisa datang kapan saja lalu aku pawangnya. Tidak ada yang salah dengan pekerjaannku ini, yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.

Bagai mendung terus menutupi bumi kelam tapi cerianya burung cemara tetap bersandar pada rawa-rawa sunyi di pinggiran kota. Berabad terasa berbulan. Dan malaikat tak pernah berhenti merongrong juga menuntut pertanggungjawabanku atas tragedi pembunuhan yang telah kubuat kepada seekor semut di tembok hitam itu. Tepatnya, kekacauan yang telah kuperbuat sendiri dengan pisau-pisau penjahat kelas teri itu.

MEREKA

Dari: Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)

(untuk kakak2 teater putih yang selalu bersatu demi kemajuan negeri,
perjuangan kalian adalah amanat Tuhan) (Mataram, 071008)

Mereka masih utuh
Berkumpul selalu dengan tujuan
Berdiskusi tentang hidup dan perjuangan
Wajah-wajah yang tak ingin kalah oleh peradaban
Dari muda hingga tua..... mereka tetap satu
Dari belahan dunia ujung Barat hingga ujung Timur... mereka tetap terikat
Mereka masih tegak
Mengibarkan panji-panji pantang menyerah
Tak sekedar mencuri nafas dari Tuhan
Namun sekedar meraih cita-cita
Mereka di jalan perlawanan terhadap hegemoni kebodohan
Mereka takkan lengah sampai akhir hayat

25 Januari, 2009

TEATER DAN LAHIRNYA POSTMODERNISME (Bag2, Habis)

Oleh: M. Syahrul Qodri


Teater Indonesia dan Postmodernisme
Melihat fenomena perteateran di Indonesia saat ini, beberapa kelompok teater yang masih aksis yang memiliki nama cukup luas di wilayah Yogyakarta bahkan di tingkat nasional dan internasional adalah teater Garasi dan teater Gandrik. Kedua kelompok ini akan kita angkat menjadi label teater Indonesia meski tidak mewakili teater Indonesia secara menyeluruh.

Teater Garasi adalah komunitas kreatif dan laboratorium penciptaan teater yang berdomisili di Yogyakarta, Indonesia. Didirikan tahun 1993, Teater Garasi dikenal karena komitmennya untuk mengembangkan dan mencipakan karya pertunjukan teater yang segar dan genuine, berbasis pada kajian atas tradisi seni pertunjukan/teater yang ada dan menggabungkannya dengan media/sensibilitas/ citra kontemporer. Teater Garasi adalah kelompok teater yang selalu mencoba melakukan eksperimen-eksperimen dalam gaya, bentuk, struktur, dan juga artistic, dan seringkali mengadaptasi bentuk maupun gaya-gaya teater simbolis, ekspresionis, teater sosialis, atau absurdisme.

Sebagai contoh, Garasi mementaskan pertunjukan “Je.ja.l.an” pada bulan Mei 2008. saat itu, panggung berbentuk sebuah jalan membelah lantai di Gedung Teater Luwes Institut Jakarta pada pementasan Teater Garasi, Yogyakarta, Jumat-Sabtu malam (23-24 Mei 2008). Aktivitas pemain semua terpusat di jalan tersebut, lengkap dengan properti yang khas jalanan (kumuh) di kota-kota besar Indonesia. Ada seng berjajar membentuk pagar, gardu, dan lain-lainnya. Pun demikian dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya, beragam. Ada petugas keamanan, pelacur, penjual rokok, penjual sandal, penjual obat, anak bermain sepeda, bermain bulu tangkis, pengamen. Selama pertunjukan para pemain bisa sedemikian liar.

Je.ja.l.an adalah seni pertunjukan teater tari (dance theatre) dan teater imaji (theatre of images) yang ingin bercerita tentang kontradiksi dan kontestasi yang ada di (pinggir) jalan di kota-kota di Indonesia. Kontradiksi dan kontestasi antara yang modern dan tradisional, yang kosmopolit dan kampungan, yang elit dan kebanyakan, yang berkuasa dan terpinggirkan, yang agung dan murahan, serta sederet kontradiksi lainnya. Kontradiksi dan kontestasi yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di jalan di kota-kota di Indonesia.

Jalan, sebagaimana kota, adalah bagian yang tak terpisahkan dari berlangsungnya modernitas di Indonesia. Dan juga adalah representasi atas kenyataan-kenyataan (sosial-politik-ekonomi-dan-budaya) Indonesia, sebagai negara dunia ketiga, dalam suatu tata dunia yang semakin terbuka dan terhubung satu sama lain. Bagaimana jalan-jalan di kota-kota di Indonesia disikapi, dijalani, ditinggali serta dihidupi oleh warganya juga mencerminkan bagaimana modernitas dan globalisasi disikapi dan dinegosiasi (baik dalam bentuk penerimaan, penolakan maupun penyesuaian).
Pementasan itu benar-benar tidak terstruktur dengan rapi seperti halnya pementasan teater realis. Para pemainnya lepas seolah memiliki peran sendiri layaknya musik jazz kontemporer. Hal ini menunjukkan terjadi dekonstruksi terhadap apa yang disebut sebagai teater realis, dan tentu saja terhadap modrnisme. Artinya, pementasan “Je.ja.l.an” yang dipergelarkan oleh Garasi merupakan suatu bentuk pementasan teater yang selaras dengan persepektif postmodernisme.

Berbeda halnya dengan teater Gandrik. Gandrik tidak serta-merta melakukan pemberontakan terhadap gagasan realisme, bahkan konsep realisme tersebut dipertahankannya. Tetapi, dari segi tema, isi cerita, musik, dan beberapa struktur teater lainnya lebih menonjolkan sifat kedaerahan atau kearifan lokal.

Mereka memperagakan teater realisme, tetapi mereka mengkombinasikannya dengan akting tradisional seperti menari dan menyanyi dengan kadang-kadang berakting sandiwara seperti dalam ketoprak. Mereka menghafal dialog-dialog tapi mereka mengaktualisasikannya dengan mengimprovisasikan kalimat dan gerakan-gerakan tubuh. Sebagai bahasa pengantar, mereka memakai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sekaligus, bukan hanya dalam batas kosa kata tapi juga dalam sintaksis, ritme bicara dan aksen.
Berangkat dari apa yang dilakukan oleh Gandrik, Bakdi Soemanto (2000:55) mengatakan bahwa teater Gandrik merupakan fenomena teatrikal pada masa transisi ketika kelompok-kelompok etnik kepulauan ini berada dalam proses menjadi Indonesia. Ini juga merupakan fenomena kebudayaan saat globalisasi direfleksikan. Kelompok gandrik adalah hasil dialog jangka panjang di tengah-tengah kebudayaan yang akan datang melewati zaman-zaman, gelombang-gelombang yang tampaknya tak putus-putus. Ia merupakan sebuah gambaran postmodernisme. Perspektif postmodernisme dalam hal ini adalah terangkatnya kearifan lokal yang tidak serta-merta menjunjung tinggi logosentrisme, strukturalis, dan konvensionalisme dalam teater. Fenomena Gandrik menunjukkan bahwa ia adalah kelompok teater yang postmodernisme.

Melihat kedua kelompok teater di atas, adalah sebuah fenomena peteateran Indonesia yang mengambil sikap dan bentuk pementasan teater berperspektif postmodernisme yang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari modernisme ke postmodernisme.

Penutup
Meski kedua kelompok tersebut sudah merambah kepada tataran konsep postmodernisme, tetap saja penilaian akhir sebuah pertunjukan berada di tangan penonton. Penonton sebagai komunitas masyarakat kecil yang hadir saat pertunjukan berlangsung akan menjadi penentu nilai keberhasilan sebuah pertunjukan teater. Namun, perlu disadari bahwa masyarakat (Indonesia) kita yang bertebaran di wilayah nusantara hingga saat ini belum seluruhnya memiliki konsep pemikiran, idealisme, dan pandangan postmodernisme. Bahkan yang lebih parah adalah belum mencapai tingkatan modernisme.
Tetapi, saya percaya, suatu saat nanti masyarakat kita akan lebih memahami konsep, makna, dan idealisme tersebut melalui pementasan-pementasan teater Gandrik ataupun Garasi, meski waktu itu belum bisa dipastikan, entah kapan.

23 Januari, 2009

TEATER DAN LAHIRNYA POSTMODERNISME (Bag1)

Oleh: M. Syahrul Qodri

Seorang tokoh pemikir Prancis, Jacques Derrida (dalam Ritzer 2008:650-651) pernah mengungkapkan sebuah istilah dalam diskusinya “theatre of cruelty” (teater kekejaman). Teater kekejaman yang dimaksud dalam hal ini bukan berarti sebuah teater yang kejam atau pentas teater yang kejam, tetapi sebuah system perteateran tradisional (Barat) yang didominasi oleh system pemikiran yang dia sebut sebagai “logika reprsentasional”. Jadi, yang terjadi di atas panggung mewakili yang tejadi di dunia nyata, maupun haparapan penulis, sutradara, dan lain sebagainya. Representasionalisme ini adalah dewa teater, dan hal ini menjadikan teater tradisional (Barat) bersifat teologis. Menurutnya, teater teologis adalah teater yang dikontrol dan diperbudak.

Panggung bersifat teologis selama strukturnya, karena mengikuti tradisi, menguasai elemen-elemen berikut: pengarang-pencipta yang dibekali dengan teks dan terus-menerus mengawasi, mengumpulkan, dan mengatur waktu atau makna representasi, sementara dia tidak hadir dan berada di kejauhan… ia membiarkan representasi merepresentasikannya melalui wakil, sutradara atau actor, penafsir yang diperbudak…yang …lebih kurang secara langsung merepresentasikan pemikiran “penciptanya”. Budak interpretif yang setia menjalankan rancangan yang telah ada dari sang “majikan”…akhirnya, panggung teologis menguasai public pasif dan duduk tenang, penongon, konsumen, penikmat (Derrida, 1978: 235).

Derrida merancang panggung alternatif yang di dalamnya “wicara tidak lagi mengatur panggung”. Jadi, panggung tidak lagi diatur, misalnya oleh pengarang teks. Actor tidak akan lagi didikte; penulis tidak lagi dictator dari hal-hal yang sering terjadi di atas panggung. Namun tidak berarti panggung akan berubah anarkis. Derrida hanya menyerukan dekonstruksi radikal terhadap teater teologis di atas. Ia ingin membebaskan teater dari kediktatoran penulis, membebaskannya dari semua otoritas intelektual yang telah menciptakan diskursus dominan. Dengan kata lain, Derrida ingin melihat kita semua menjadi penulis. Derrida menegaskan sebagai poinnya adalah kita tidak akan menemukan masa depan di masa lalu, pun kita tidak boleh secara pasif menunggu nasib kita. Namun, masa depan harus ditemukan, diciptakan, ditulis dalam hal-hal yang tengah kita lakukan.

Untuk digarisbawahi, Derrida adalah tokoh pemikir perancis yang memulai atau mengawali poststrukturalis. Seperti yang dikatakan Charles Lemert (1990) yang menanggap awal poststrukturalis adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966. Di dalam pidato tersebut, ia memproklamirkan terbitnya zaman poststrukturalis baru. Bertolak belakang dengan strukturalis, khususnya yang mengikuti peralihan linguistic dan yang melihat orang dikekang oleh struktur bahasa, Drrida mereduksi bahasa menjadi tulisan yang tidak mengekang subjek. Derrida juga melihat institusi sosial hanya sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang, hal ini berarti Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial (Trifonas, 1996) dan ketika dekonstruksi ini telah dilakukan, yang akan ditemukan di sana adalah tulisan.

Kalau strukturalis melihat tatanan dan stabilitas dalam system bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna yang berbeda pada kata. Akibatnya, system bahasa tidak mungkin memiliki kekuatan untuk mengekang orang seperti pandangan kalangan strukturalis. Derrida menawarkan perspektif subversive dan dekonstruktif.

Objek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencaian system pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, cantik, dan lain sebagainya) yang telahmendominasi pemikiran sosial Barat. Logosentris tidak hanya menutupi filsafat, namun juga ilmu-ilmu humaniora.

Setelah semakin maraknya gerakan dekonstruktif ini (yang bukan hanya mencakup bidang linguistic) merambah ke berbagai bidang lainnya seperti bidang sosial, filsafat, bahkan juga bidang seni, postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis di anggap sebagai lambang arsitektur modern. Yang lebih penting, ia berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia. Tetapi para penghuninya menghancurkan bangunan itu dengan sengaja. Pemerintah mencurahkan banyak dana untuk merenovasi bangunan tsb. Akhirnya, setelah menghabiskan jutaan dollar, pemerintah menyerah. Pada sore hari di bulan Juli 1972, bangunan itu diledakkan dengan dinamit. Menurut Charles Jencks, yang dianggap sebagai arsitek postmodern yang paling berpengaruh, peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran.

Postmodernisme merupakan suatu persepektif yang menyoroti kegagalan gagasan Pencerahan (Saifuddin, Ahmad F. 2006). Ia merujuk pada epos-jangka waktu, zaman, masa sosialdan politik yan biasanya terliaht mengiringi era modern dalam suatu pemahaman histories (Kumar, 1995). Postmodern pada sisi lain merujuk pada produk cultural (dalam seni, film, arsitektur, dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk cultural modern (Jameson, 1991). George Ritzer (2008:14) mengatakan bahwa postmodern meliputi suatu epos histories baru, produk cultural baru, dan tipe teoretisasi baru emngenai dunia sosial. Semua elemen tersebut tentu saja memiliki suatu perspektif yang baru… menggantikan realitas-realitas modern.

Perlu digarisbawahi, mendefinisikan apa itu postmodernisme tidak hanya melihat secara historis, atau secara teoritis, tetapi harus dilihat dari berbagai perspektif. Hal ini menyebabkan terjadinya keambiguan definisi terhadap apa yang disebut sebagai postmodernisme. Meski demikian, realitas sosial sat ini menunjukkan gejala itu dengan sangat nyata.

Antara Teater dan Lahirnya Postmodernisme

Mari tengok sejenak perkembangan teater pada masa sebelum (postmodern) itu, di mana terdapat pergerakan teater yang sudah melakukan berbagai macam dekonstruksi terhadap struktur teater. Sebut saja misalnya teater-teater yang mencoba beralih atau memberontak terhadap gerakan realisme, seperti simbolis, ekspresionis, teater sosialis, atau absurdisme.

Kita ambil sebagai contoh, teater simbolis yang dipelopori oleh Richard Wagner (1813-1883) seorang composer musik dan Nietzsche (Styan 1992:5-6). Khususnya Wagner, Ia mencoba memasukkan unsur musik ke dalam pementasan dan menjadikannya sebagai unsur penting pementasan, lalu menjauhkan penonton dari realitas yang ada, karena menurutnya penonton harus dibebaskan dari hiruk-pikuk keseharian dan dimasukkan ke dalam dunia musik yang gaib. Aliran ini hanya mempercayai intuisi untuk memahami kenyataan karena kenyataan tak dapat dipahami secara logis, maka kebenaran itu juga tak mungkin diungkapkan secara logis. Kenyataan hanya dapat dipahami melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk simbol-simbol (Sumardjo, 1986:87-88).

Perkembangan teater selain aliran ini yang paling terlihat mengambil persimpangan dengan realisme adalah absurdisme yang berangkat dari konsep eksistensialisme. Tokoh yang paling terkenal dalam eksistensialisme adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Albert Camus(1913-1960), dan dalam bidang teater absurd, tokoh yang paling mengemuka adalah Samuel Beckett (1906-1989), Jean Genet 1910-1986), dan Eugene Ionesco (1912-1994).

Aliran-aliran yang disebutkan di atas merupakan aliran-aliran yang melakukan pemberontakan terhadap realisme, baik pada tataran konsep, idealisme, dan juga struktur pementasan. Pemberontakan serta dekonstruksi terhadap teater realisme pada hakikatnya juga merupakan pemberontakan terhadap modernisme yang menjunjung kemapanan (terutama pada) struktur, berorientasi kapitalisme, serta logosentris, karena sebagaimana kita ketahui, teater realisme berangkat dari pemikiran Positivistme (Augutse Comte [1798-1857]) dan Evolusionisme (Charles Darwin [1809-1882]), yang menelurkan modernisme.

Aliran-aliran ini muncul pada abad XIX, atau lebih tepatnya sebelum Derrida berpidato tentang postrukturalis, dan sebelum tahun 1972 saat diruntuhkannya rumah Pruitt-Igoe di St. Louis, dan sebelum lahirnya postmodernisme.

Menjadi sesuatu yang menarik, mengapa Derrida menggunakan analogi teater untuk mendekonstruksi strukturalisme dalam linguistic, atau dekonstruksi terhadap sosial modern. Menarik pula dilihat bahwa J.P. Sartre, atau para pemikir lainnya yang menolak kebanggaan modernitas, merupakan tokoh-tokoh penting dalam bidang seni, khususnya teater. Adakah kemungkinan bahwa lahirnya postmodernisme (yang saat ini didengung-dengungkan oleh para pemikir sosial, antropologi, psikologi, bahkan filsafat) itu ditelurkan oleh para seniman (teater)?