01 Mei, 2009

Antara Tamu yang Terhormat dengan “Keluarga TOT” Gandrik

M. Syahrul Q




Seperti biasanya, aku sediakan waktu untuk mampir di salah satu toko buku di Shopping Center Yogyakarta. Aku ingin mencari satu buku yang saat itu sangat penting untuk kujadikan referensi. Tapi kok agak aneh, hari itu mereka tutup cepat sekali (tidak seperti biasanya, jam 5 sore). Untung aku bisa menemui ibu langganan tempat biasanya belanja buku.
“Waduh, Mas. Kita mau segera tutup nih. Kita mesti tutup sampai seminggu” Kata ibu itu.
“Memangnya kenapa, Bu?” Tanyaku heran.
“Besok kan ada peresmian Taman Pintar di sebelah oleh pak SBY. Pak SBY mau datang ke sini lho Mas.” Wajah ibu sedikit berseri, seperti senang kedatangan tamu terhormat, tapi beberapa saaat kemudian, ia melajutkan dengan nada lesu, “…tapi kita mesti tutup untuk beberapa hari, Mas.”
“Ooo…., sabar, Bu. Itu demi pengamanan kepala Negara.” Jawabku datar, mencoba menghibur kelesuan ibu tadi.

Aku jadi teringat waktu aku SD dulu, peresemian sebuah waduk di pinggiran kotaku, oleh presiden Soeharto. Teman-teman dimintai sumbangan masing2 Rp.1000,- untuk membeli bendera dan transport pergi ke lokasi. Waktu itu, uang Rp.50,- saja cukup jadi uang saku sehari, dan membeli jajanan. Tapi karena itu adalah perintah, meski berat, harus dilaksanakan. Dengan merengek-merengek aku minta uang seribu ke ibuku, sampai nangis dan mengancam untuk tidak sekolah lagi. Dengan susah payah, ibu mencarikan pinjaman kesana kemari. Setelah dapat, aku langsung berangkat ke sekolah. Di sana teman-teman sudah kumpul, dan siap berangkat ke lokasi penyambutan. Menggunakan bus kecil, kamipun berangkat, lalu diberhentikan pada jarak sekitar 5 KM dari lokasi. Di sana sudah banyak siswa-siswa dari SD lainnya membawa bendera merah putih.

“Kita di sini!” perintah ibu guru.
Itu artinya kita hanya dapat melihat bapak presiden lewat menggunakan mobil mewah kepresidenannnya. Waktu itu, sekitar pukul 12 siang. Matahari menyengat keringat. Tidak sedikit siswa-siswa SD yang jatuh pingsan karena panas dan berjejalan. Dan itu, “demi penyambutan kedatangan presiden”. Beberapa lama kemudian, iring-iringan mobil dengan bunyi sirine pun melaju kencang di depan mata. Para siswa SD melambai-lambikan benderanya. Entah, apakah orang yg di dalam mobil peduli atau tidak. Setelah itu, pulang.

Aku bergumam dalam hati, hanya itu? Begitu susahnya ibuku mencari uang pinjaman, hanya untuk melihat presiden lewat? Lalu gumamanku itu terungkap lagi, pada bulan Desember 2008 lalu. Hanya untuk kedatangan seorang presiden, toko-toko buku harus tutup? Bayangkan, berapa banyak toko buku di Shopping Center Yogya, yang harus tutup. Bukan hanya toko buku, tapi juga toko-toko lainnya. Berarti, akan berapa banyak orang yang menganggur, tidak bekerja mencari nafkah, hanya karena kedatangan presiden?

Berbagai alasan pembenaran kita dengar, terutama masalah keamanan. Tetapi ini tentulah sebuah pemaksaan. Pemaksaaan terhadap pembenaran, meski kita tidak menyukainya.

Begitulah kalimat yang ingin disampaikan oleh István Örkèny dalam naskahnya yang berjudul Tóték, yang dipentaskan semalam (29 April 2009)oleh Gandrik menjadi Keluarga TOT. Agus Noor mengatakan, Keluarga Tot boleh dibilang merupakan salah satu karya agung (masterpeace) yang pernah dihasilkannya. Ia dikenal sebagai penulis yang bergaya satir dalam melihat situasi masyarakat. Beberapa karyanya, antara lain novel dan lakon, seperti, Ocean Dance (1941), One Minute Stories, yang merupakan buku kumpulan cerita paling populer yang dihasilkannya dengan gaya absurd dan grotesque yang khas dirinya. Ia sempat tinggal di Moskow, di lingkungan buruh, dan menuliskan lakon Voronesh, sebelum kemudian ia kembali menetap di Hungaria tahun 1946. Ia kemudian menjadi penulis lakon terpenting Hungaria, ini didibuktikan ketika pada tahun 2004 namanya diabadikan menjadi nama gedung teater di Budapest: Örkeny Theater.

Secara pribadi, saya tidak mengetahui, apakah naskah asli Tóték berbau komedian atau tragedik, namun naskah itu di tangan Gandrik menjadi sesuatu yang sangat unik. Saya melihat, Gandrik membawakan keluarga TOT dengan menginterpretasikan pada persoalan kekinian bangsa ini, meskipun latar naskah tersebut terjadi pada saat perang dunia II. Hal ini bisa jadi menjadi nilai lebih bagi pementasan ini, meski Eka Kurniawan merasa gelisah akan hal itu.

Mari kita lihat, tokoh Pak Pos (sebagai adegan awal) membawa beberapa surat, yang harus segera tiba ke penerimanya. Pak pos yang seolah memiliki kekuasaaan atas keberadaan surat-surat itu, deng leluasa membaca isi surat, melihat apa yang terjadi, bahkan tidak jarang membuang beberapa surat (ke penonton). Hal ini adalah cerminan kepada kita bahwa masyarakat kita sedikit sekali yang memiliki tanggung jawab dan bertanggung jawab terhadap tanggungan atau tugas yang diberikan itu. Berbagai alas an pembenaran dari pak pos selaku penguasa surat, sekedar membenarkan diri atas apa yang dia lakukan.

Gelak tawa tedengar riuh dari penonton. Gandrik memang ahlinya menciptakan suasana konyol, unik, lucu, tapi cerdas. Saya tidak tahu, apakah penonton sadar, mereka juga tengah menertawakan prilaku masyarakat kita yang note benenya tidak lebih baik dari pada pak pos itu. Karena bagaimanapun, seperti yang dikatakan di atas, Gandrik mampu membawa naskah ini pada kondisi kekinian negeri ini, dengan menampilkan berbagai kritikan kepada para politisi, pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya.

Sekitar 2,5 jam lebih, pentas berlangsung. Cukup melelahkan, tetapi tidak membosankan. Berbagai peristiwa dimunculkan, menggambarkan dua budaya yang tergabung dalam satu lakon, budaya Hongaria dan budaya Jawa. Hongaria adalah semacam ‘meeting point of cultures’. Budaya Hongaria tidak hanya mampu mempertahankan keaslian nilai-nilai budayanya, namun dapat juga dengan pintarnya menyeleksi pengaruh budaya lain. Walaupun sempat menjadi salah satu satelit Uni Soviet di masa Perang Dingin, Hongaria telah terbukti mampu bangkit dan menjadi negara eks-komunis yang paling sukses dalam hal pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi (http://sherwintobing.com/). Sedangkan budaya di Jawa atau Indonesia pada umumnya masih bolong sana sini. Sehingga naskah yang ditulis oleh István Örkèny sekitar setengah abad yang lalu, masih terasa menggelitik saat ini di Indonesia.

Saya menangkap peristiwa yang terungkap adalah sebuah pelayanan bagi seseorang secara berlebihan, dan pelayanan itu dilakukan karena keterpaksaan, bukan kerelaan apalagi kewajiban. Kegilaan yang terjadi pada keluarga TOT karena berada dalam tekanan sang Mayor, yang memiliki kuasa atas keluarga tersebut, meski ia hanyalah tamu di rumah itu. Lalu, bagaimana kita menyikapi orang-orang yang datang ke Indonesia? Apakah kita penah bertanya, kitamelayani mereka dengan baik atau justru kita merasa tertekan atas pelayanan tersebut?

Tentu kita ingat betapa menunduknya orang-orang pemerintahan Indonesia ketika Bush presiden Amerika mendarat di Bandung beberapa waktu lalu. Atau Hillary Clinton yang mengunjungi SBY, lalu serta merta memberikan nasihat (perintah) untuk menangani masalah Papua. Bukankah kita yang punya rumah, dan semestinya kitalah yang mengurus rumah kita sendiri, tentu dengan penuh tanggung jawab dan mendahulukan kepentingan bersama. Sebegitu bodohkah kita, sampai masalah intern rumah tangga kita harus ditangani oleh orang lain?

Dalam perenungan semacam itu, aku berangkat pulang. Setiba di rumah, sekitar jam 12 malam, seorang teman datang berkunjung. Sempat heran, kok bertamu tengah malam begini? Dengan senyum memelas, temanku mengatakan, “Boleh saya menginap beberap hari di tempatmu?”

Tidak ada komentar: