25 Januari, 2009

TEATER DAN LAHIRNYA POSTMODERNISME (Bag2, Habis)

Oleh: M. Syahrul Qodri


Teater Indonesia dan Postmodernisme
Melihat fenomena perteateran di Indonesia saat ini, beberapa kelompok teater yang masih aksis yang memiliki nama cukup luas di wilayah Yogyakarta bahkan di tingkat nasional dan internasional adalah teater Garasi dan teater Gandrik. Kedua kelompok ini akan kita angkat menjadi label teater Indonesia meski tidak mewakili teater Indonesia secara menyeluruh.

Teater Garasi adalah komunitas kreatif dan laboratorium penciptaan teater yang berdomisili di Yogyakarta, Indonesia. Didirikan tahun 1993, Teater Garasi dikenal karena komitmennya untuk mengembangkan dan mencipakan karya pertunjukan teater yang segar dan genuine, berbasis pada kajian atas tradisi seni pertunjukan/teater yang ada dan menggabungkannya dengan media/sensibilitas/ citra kontemporer. Teater Garasi adalah kelompok teater yang selalu mencoba melakukan eksperimen-eksperimen dalam gaya, bentuk, struktur, dan juga artistic, dan seringkali mengadaptasi bentuk maupun gaya-gaya teater simbolis, ekspresionis, teater sosialis, atau absurdisme.

Sebagai contoh, Garasi mementaskan pertunjukan “Je.ja.l.an” pada bulan Mei 2008. saat itu, panggung berbentuk sebuah jalan membelah lantai di Gedung Teater Luwes Institut Jakarta pada pementasan Teater Garasi, Yogyakarta, Jumat-Sabtu malam (23-24 Mei 2008). Aktivitas pemain semua terpusat di jalan tersebut, lengkap dengan properti yang khas jalanan (kumuh) di kota-kota besar Indonesia. Ada seng berjajar membentuk pagar, gardu, dan lain-lainnya. Pun demikian dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya, beragam. Ada petugas keamanan, pelacur, penjual rokok, penjual sandal, penjual obat, anak bermain sepeda, bermain bulu tangkis, pengamen. Selama pertunjukan para pemain bisa sedemikian liar.

Je.ja.l.an adalah seni pertunjukan teater tari (dance theatre) dan teater imaji (theatre of images) yang ingin bercerita tentang kontradiksi dan kontestasi yang ada di (pinggir) jalan di kota-kota di Indonesia. Kontradiksi dan kontestasi antara yang modern dan tradisional, yang kosmopolit dan kampungan, yang elit dan kebanyakan, yang berkuasa dan terpinggirkan, yang agung dan murahan, serta sederet kontradiksi lainnya. Kontradiksi dan kontestasi yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari di jalan di kota-kota di Indonesia.

Jalan, sebagaimana kota, adalah bagian yang tak terpisahkan dari berlangsungnya modernitas di Indonesia. Dan juga adalah representasi atas kenyataan-kenyataan (sosial-politik-ekonomi-dan-budaya) Indonesia, sebagai negara dunia ketiga, dalam suatu tata dunia yang semakin terbuka dan terhubung satu sama lain. Bagaimana jalan-jalan di kota-kota di Indonesia disikapi, dijalani, ditinggali serta dihidupi oleh warganya juga mencerminkan bagaimana modernitas dan globalisasi disikapi dan dinegosiasi (baik dalam bentuk penerimaan, penolakan maupun penyesuaian).
Pementasan itu benar-benar tidak terstruktur dengan rapi seperti halnya pementasan teater realis. Para pemainnya lepas seolah memiliki peran sendiri layaknya musik jazz kontemporer. Hal ini menunjukkan terjadi dekonstruksi terhadap apa yang disebut sebagai teater realis, dan tentu saja terhadap modrnisme. Artinya, pementasan “Je.ja.l.an” yang dipergelarkan oleh Garasi merupakan suatu bentuk pementasan teater yang selaras dengan persepektif postmodernisme.

Berbeda halnya dengan teater Gandrik. Gandrik tidak serta-merta melakukan pemberontakan terhadap gagasan realisme, bahkan konsep realisme tersebut dipertahankannya. Tetapi, dari segi tema, isi cerita, musik, dan beberapa struktur teater lainnya lebih menonjolkan sifat kedaerahan atau kearifan lokal.

Mereka memperagakan teater realisme, tetapi mereka mengkombinasikannya dengan akting tradisional seperti menari dan menyanyi dengan kadang-kadang berakting sandiwara seperti dalam ketoprak. Mereka menghafal dialog-dialog tapi mereka mengaktualisasikannya dengan mengimprovisasikan kalimat dan gerakan-gerakan tubuh. Sebagai bahasa pengantar, mereka memakai bahasa Indonesia dan bahasa Jawa sekaligus, bukan hanya dalam batas kosa kata tapi juga dalam sintaksis, ritme bicara dan aksen.
Berangkat dari apa yang dilakukan oleh Gandrik, Bakdi Soemanto (2000:55) mengatakan bahwa teater Gandrik merupakan fenomena teatrikal pada masa transisi ketika kelompok-kelompok etnik kepulauan ini berada dalam proses menjadi Indonesia. Ini juga merupakan fenomena kebudayaan saat globalisasi direfleksikan. Kelompok gandrik adalah hasil dialog jangka panjang di tengah-tengah kebudayaan yang akan datang melewati zaman-zaman, gelombang-gelombang yang tampaknya tak putus-putus. Ia merupakan sebuah gambaran postmodernisme. Perspektif postmodernisme dalam hal ini adalah terangkatnya kearifan lokal yang tidak serta-merta menjunjung tinggi logosentrisme, strukturalis, dan konvensionalisme dalam teater. Fenomena Gandrik menunjukkan bahwa ia adalah kelompok teater yang postmodernisme.

Melihat kedua kelompok teater di atas, adalah sebuah fenomena peteateran Indonesia yang mengambil sikap dan bentuk pementasan teater berperspektif postmodernisme yang menunjukkan adanya pergeseran perspektif dari modernisme ke postmodernisme.

Penutup
Meski kedua kelompok tersebut sudah merambah kepada tataran konsep postmodernisme, tetap saja penilaian akhir sebuah pertunjukan berada di tangan penonton. Penonton sebagai komunitas masyarakat kecil yang hadir saat pertunjukan berlangsung akan menjadi penentu nilai keberhasilan sebuah pertunjukan teater. Namun, perlu disadari bahwa masyarakat (Indonesia) kita yang bertebaran di wilayah nusantara hingga saat ini belum seluruhnya memiliki konsep pemikiran, idealisme, dan pandangan postmodernisme. Bahkan yang lebih parah adalah belum mencapai tingkatan modernisme.
Tetapi, saya percaya, suatu saat nanti masyarakat kita akan lebih memahami konsep, makna, dan idealisme tersebut melalui pementasan-pementasan teater Gandrik ataupun Garasi, meski waktu itu belum bisa dipastikan, entah kapan.

Tidak ada komentar: