Seorang tokoh pemikir Prancis, Jacques Derrida (dalam Ritzer 2008:650-651) pernah mengungkapkan sebuah istilah dalam diskusinya “theatre of cruelty” (teater kekejaman). Teater kekejaman yang dimaksud dalam hal ini bukan berarti sebuah teater yang kejam atau pentas teater yang kejam, tetapi sebuah system perteateran tradisional (Barat) yang didominasi oleh system pemikiran yang dia sebut sebagai “logika reprsentasional”. Jadi, yang terjadi di atas panggung mewakili yang tejadi di dunia nyata, maupun haparapan penulis, sutradara, dan lain sebagainya. Representasionalisme ini adalah dewa teater, dan hal ini menjadikan teater tradisional (Barat) bersifat teologis. Menurutnya, teater teologis adalah teater yang dikontrol dan diperbudak.
Panggung bersifat teologis selama strukturnya, karena mengikuti tradisi, menguasai elemen-elemen berikut: pengarang-pencipta yang dibekali dengan teks dan terus-menerus mengawasi, mengumpulkan, dan mengatur waktu atau makna representasi, sementara dia tidak hadir dan berada di kejauhan… ia membiarkan representasi merepresentasikannya melalui wakil, sutradara atau actor, penafsir yang diperbudak…yang …lebih kurang secara langsung merepresentasikan pemikiran “penciptanya”. Budak interpretif yang setia menjalankan rancangan yang telah ada dari sang “majikan”…akhirnya, panggung teologis menguasai public pasif dan duduk tenang, penongon, konsumen, penikmat (Derrida, 1978: 235).
Derrida merancang panggung alternatif yang di dalamnya “wicara tidak lagi mengatur panggung”. Jadi, panggung tidak lagi diatur, misalnya oleh pengarang teks. Actor tidak akan lagi didikte; penulis tidak lagi dictator dari hal-hal yang sering terjadi di atas panggung. Namun tidak berarti panggung akan berubah anarkis. Derrida hanya menyerukan dekonstruksi radikal terhadap teater teologis di atas. Ia ingin membebaskan teater dari kediktatoran penulis, membebaskannya dari semua otoritas intelektual yang telah menciptakan diskursus dominan. Dengan kata lain, Derrida ingin melihat kita semua menjadi penulis. Derrida menegaskan sebagai poinnya adalah kita tidak akan menemukan masa depan di masa lalu, pun kita tidak boleh secara pasif menunggu nasib kita. Namun, masa depan harus ditemukan, diciptakan, ditulis dalam hal-hal yang tengah kita lakukan.
Untuk digarisbawahi, Derrida adalah tokoh pemikir perancis yang memulai atau mengawali poststrukturalis. Seperti yang dikatakan Charles Lemert (1990) yang menanggap awal poststrukturalis adalah pidato Jacques Derrida pada tahun 1966. Di dalam pidato tersebut, ia memproklamirkan terbitnya zaman poststrukturalis baru. Bertolak belakang dengan strukturalis, khususnya yang mengikuti peralihan linguistic dan yang melihat orang dikekang oleh struktur bahasa, Drrida mereduksi bahasa menjadi tulisan yang tidak mengekang subjek. Derrida juga melihat institusi sosial hanya sebagai tulisan dan dengan demikian tidak mampu mengekang orang, hal ini berarti Derrida mendekonstruksi bahasa dan institusi sosial (Trifonas, 1996) dan ketika dekonstruksi ini telah dilakukan, yang akan ditemukan di
Kalau strukturalis melihat tatanan dan stabilitas dalam system bahasa, Derrida melihat bahasa sebagai sesuatu yang tidak teratur dan tidak stabil. Konteks yang berbeda memberikan makna yang berbeda pada kata. Akibatnya, system bahasa tidak mungkin memiliki kekuatan untuk mengekang orang seperti pandangan kalangan strukturalis. Derrida menawarkan perspektif subversive dan dekonstruktif.
Objek kebencian Derrida adalah logosentrisme (pencaian system pemikiran universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, cantik, dan lain sebagainya) yang telahmendominasi pemikiran sosial Barat. Logosentris tidak hanya menutupi filsafat, namun juga ilmu-ilmu humaniora.
Setelah semakin maraknya gerakan dekonstruktif ini (yang bukan hanya mencakup bidang linguistic) merambah ke berbagai bidang lainnya seperti bidang sosial, filsafat, bahkan juga bidang seni, postmodernisme lahir di
Postmodernisme merupakan suatu persepektif yang menyoroti kegagalan gagasan Pencerahan (Saifuddin, Ahmad F. 2006). Ia merujuk pada epos-jangka waktu, zaman, masa sosialdan politik yan biasanya terliaht mengiringi era modern dalam suatu pemahaman histories (Kumar, 1995). Postmodern pada sisi lain merujuk pada produk cultural (dalam seni, film, arsitektur, dan sebagainya) yang terlihat berbeda dari produk cultural modern (Jameson, 1991). George Ritzer (2008:14) mengatakan bahwa postmodern meliputi suatu epos histories baru, produk cultural baru, dan tipe teoretisasi baru emngenai dunia sosial. Semua elemen tersebut tentu saja memiliki suatu perspektif yang baru… menggantikan realitas-realitas modern.
Perlu digarisbawahi, mendefinisikan apa itu postmodernisme tidak hanya melihat secara historis, atau secara teoritis, tetapi harus dilihat dari berbagai perspektif. Hal ini menyebabkan terjadinya keambiguan definisi terhadap apa yang disebut sebagai postmodernisme. Meski demikian, realitas sosial sat ini menunjukkan gejala itu dengan sangat nyata.
Antara Teater dan Lahirnya Postmodernisme
Mari tengok sejenak perkembangan teater pada masa sebelum (postmodern) itu, di mana terdapat pergerakan teater yang sudah melakukan berbagai macam dekonstruksi terhadap struktur teater. Sebut saja misalnya teater-teater yang mencoba beralih atau memberontak terhadap gerakan realisme, seperti simbolis, ekspresionis, teater sosialis, atau absurdisme.
Kita ambil sebagai contoh, teater simbolis yang dipelopori oleh Richard Wagner (1813-1883) seorang composer musik dan Nietzsche (Styan 1992:5-6).
Perkembangan teater selain aliran ini yang paling terlihat mengambil persimpangan dengan realisme adalah absurdisme yang berangkat dari konsep eksistensialisme. Tokoh yang paling terkenal dalam eksistensialisme adalah Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Albert Camus(1913-1960), dan dalam bidang teater absurd, tokoh yang paling mengemuka adalah Samuel Beckett (1906-1989), Jean Genet 1910-1986), dan Eugene Ionesco (1912-1994).
Aliran-aliran yang disebutkan di atas merupakan aliran-aliran yang melakukan pemberontakan terhadap realisme, baik pada tataran konsep, idealisme, dan juga struktur pementasan. Pemberontakan serta dekonstruksi terhadap teater realisme pada hakikatnya juga merupakan pemberontakan terhadap modernisme yang menjunjung kemapanan (terutama pada) struktur, berorientasi kapitalisme, serta logosentris, karena sebagaimana kita ketahui, teater realisme berangkat dari pemikiran Positivistme (Augutse Comte [1798-1857]) dan Evolusionisme (Charles Darwin [1809-1882]), yang menelurkan modernisme.
Aliran-aliran ini muncul pada abad XIX, atau lebih tepatnya sebelum Derrida berpidato tentang postrukturalis, dan sebelum tahun 1972 saat diruntuhkannya rumah Pruitt-Igoe di St. Louis, dan sebelum lahirnya postmodernisme.
Menjadi sesuatu yang menarik, mengapa Derrida menggunakan analogi teater untuk mendekonstruksi strukturalisme dalam linguistic, atau dekonstruksi terhadap sosial modern. Menarik pula dilihat bahwa J.P. Sartre, atau para pemikir lainnya yang menolak kebanggaan modernitas, merupakan tokoh-tokoh penting dalam bidang seni, khususnya teater. Adakah kemungkinan bahwa lahirnya postmodernisme (yang saat ini didengung-dengungkan oleh para pemikir sosial, antropologi, psikologi, bahkan filsafat) itu ditelurkan oleh para seniman (teater)?
1 komentar:
lok bisa tulisannya yang tentang pertunjukan teater dunk, biar bisa nambah ilmu
Posting Komentar