11 Juni, 2010

Bengkel Mime, Mengembalikan Aku pada Kenangan Indah Masa Kecil

Oleh: Syahrul Q


Malam itu, udara terasa begitu dingin karena hujan deras, baru saja usai. Jalanan masih basah dan kendaraan tampak begitu padat. Begitulah suasana malam minggu itu. Sementara aku, sendiri mengendara motorku dengan cepat, meliuk-liuk di antara kendaraan lainnya, mengejar waktu. Malam ini 29 Mei 2010, ada pertunjukan yang pasti seru. Teater Mime.

Aku datang ke Taman Budaya Jogja, tempat pertunjukan teater mime berlansung, berharap menemukan sesuatu yang “wah”, sesuatu yang baru, dan mendapatkan pencerahan serta pembelajaran yang menyenangkan sekaligus memuaskan.

Pertunjukan sudah dimulai saat aku tiba di lokasi. Ada yang aneh. Suasana sudah dibangun di luar gedung pertunjukan, dengan adanya pertunjukan (sejenis repotoar). Aktivitas itu dimulai dari suara speaker toa, ucapan salam dari suara anak-anak yang hendak mengaji sore hari di musholla. Ada seorang ibu yang mencuci pakaian, sambil bersungut-sungut berantem dengan suaminya. Ada anak kecil yang berhias, ada pula pedagang kaki lima. Lalu suara riuh dari speaker toa, menggambarkan suasana pertandingan volly yang terkesan amat seru.

Aku yang (merasa) terbiasa menonton pertunjukan teater, merasa sedikit terganggu, karena fokusnya terlalu banyak, bahkan bisa dikatakan tidak memiliki fokus. Perlengkapan rumah tangga seperti panci, ember, wajan, dan lain sebagainya dikemas sedemikian rupa, membentuk properti pertunjukan. Dalam hati aku bergumam, pertunjukan macam apa ini?

Pertunjukan di lapangan itu berlangsung sekitar 15 menit. Lalau kami sebagai penonton diajak masuk ke dalam gedung. Namun, tidak langsung masuk ke area pertunjukan, melainkan berhenti di ruang loby. Di situlah pertunjukan kecil berlangsung kembali. Sebuah kursi dan meja dibawa oleh aktor dengan gaya unik, meliuk-liuk, dan sangat teatrikal. Kemudian muncul seorang laki-laki yang bergerak dengan kaku, seperti robot, atau lebih tepatnya seperti boneka. Beberapa saat kemudian, seorang gadis kecil yang cantik, lincah bergerak mendekati sang boneka, dan menawarkan payung mungil yang cantik pula.

Kembali aku bergumam, pertunjukan apa ini? Aku berusaha semaksimal mungkin membedah diri, menguras otak serta menggali pengalaman menonton teater, baik yang realis maupun yang absurd sekalipun. Tapi ini tidak termasuk dalam kategori teater seperti itu. Apakah ini bentuk baru? Ataukah ini adaptasi dari bentuk teater Sae? Ataukah ada bentuk lain yang belum aku ketahui?

Tiba-tiba seorang anak kecil yang ikut menonton waktu itu tertawa lepas, dan bercerita, berceloteh pada dirinya sndiri, “Wuiiichh... hebat....! Kursinya bisa melayang-layang.... aaaah.. ini sih ruang angkasa... ooo... ya ya... bonekanya hidup... hebat sekali....” Kira-kira seperti itulah celotehan histeris dari anak kecil itu. Dalam pertunjukan teater modern, tentunya tidak diperbolehkan anak kecil berceloteh seperti itu. Bahkan aku sempat berfikir dengan nada kesal, siapa yang membawa anak kecil ini menonton?

Pertunjukan di ruang loby diakhiri dengan seorang gadis bernyanyi riang tentang bintang-bintang. Suaranya begitu sederhana namun suara itulah yang membuat suasana menjadikanku seolah berada di alam mimpi. Penonton diajak masuk ke ruang pertunjukan, dan benar-benar seperti di ajak ke ruang mimpi, dengan setting panggung yang begitu rupa. Tapi tetap saja aku merasa bingung dan tidak tau harus memaknai pertunjukan ini seperti apa, atau menginterpretasinya bagaimana. Apalagi membaca booklet-nya yang sederhana, menceritakan tentang kisah percintaan antara putri embun dan pangeran bintang. Ah, bagiku ini adalah pertunjukan main-main.

Suara anak kecil tadi masih terdengar berceloteh riang dan dia sangat menikmati pertunjukan ini. Aku jadi teringat, sekaligus tersadar, bahwa pertunjukan ini tidak bisa aku nikmati secara teaterikal, apalagi dengan bejubel teori dramaturgi. Tidak akan bisa aku nikmati dengan terus berfikir mencari makna, pesan, visi, atau apa saja secara strukturalisme teater. Aku harus melepaskan diriku, membiarkan imajinasiku liar, layaknya anak kecil yang tadinya sangat menggangguku. Dan kini aku justru sangat berterima kasih padanya, telah menyadarkanku, untuk kembali menjadi anak kecil, karena anak kecil memiliki imajinasi yang luar biasa.

Begitulah. Pertunjukan berlangsung terus dengan berbagai macam peristiwa, kisah sederhana dari seorang putri yang diculik oleh manusia wajan. Lalu pangeran bintang menyelamatkannya setelah mendapatkan obat penyembuh luka dari putri bulan. Sebuah cerita dongeng klasik yang sederhana, dan hanya anak kecil yang bisa menikmati cerita klasik itu dengan nyaman. Artinya, akupun harus menikmatinya dengan membentuk diriku, menjadi seorang anak kecil, yang bebas berfikir dan berimajinasi liar.

Dari situlah aku mulai bisa memaknai setiap adegan, setiap properti, setiap perkakas rumah tangga yang menyatu dengan tubuh aktor, menikmati alunan suara dari putri bulan yang bergelombang, menggapai imajinasi tertinggi untuk berada di awang-awang. Aku melepaskan diri. Aku pasrah.

Pertunjukan berakhir dengan ending yang sederhana pula. Seorang anak kecil meniupkan peluit untuk mengakhiri perseteruan antara manusia wajan dengan pangeran bintang. Anak kecil yang begitu nakal, yang kadang menangis teriak ketika ibunya menyuruhnya membersihkan badan. Anak kecil itu seolah begitu bijak, dan itu membuatku kembali berfikir, mengapa tidak aku belajar dari seorang anak kecil?

Pangeran wajan memberikan bunga imajiner kepada putri embun. Begitu juga pangeran bintang, memberikan bunga mungil sebagai persembahan. Putri embun yang cantik ceria itu, justru memilih memberikan bunga pemberian itu kepada manusia panci yang selama ini selalu setia menjaganya setiap saat. Sontak saja aku tertawa lepas, bersaing dengan tawa anak kecil yang menonton di ujung belakang.

Putri bulan turun dari singgasananya sambil bernyanyi memeriahkan suasana, lalu semua aktor malambai, dan berakhir sudah pertunjukan aneh yang menyenangkan itu.

Usai pertunjukan, sutradara meminta penonton yang masih sempat meluangkan waktu untuk turut berdiskusi di ruang loby. Ada Afrizal Malna, seorang tokoh teater yang namanya cukup terkenal. Ada pula tokoh-tokoh teater dan seniman lainnya, seperti Mas Yudi, Mas Sony, dan lain-lain yang sudah tidak asing lagi ikut serta dalam diskusi itu.

Beberapa orang mengeluarkan pendapatnya, terutama tentang kerumitan serta proses penciptaan pertunjukan teater mime yang baru saja ditonton. Berbagai teori dimunculkan, berbagai persoalan lahir kembali, serta berusaha mencari berbagai macam kekurangan yang dirasakan dalam pertunjukan itu.

Sempat aku melirik kepada para pemain yang terlihat sangat lelah, meski terbersit dalam pikiranku, mereka pasti puas. Sayang sekali, kepuasan itu dihantam dan diusik dengan acara diskusi yang membingungkan. Aku sendiri ikut merasa bosan. Tapi untuk membuang rasa bosan itu, aku akhirnya angkat bicara.

“Pertunjukan tadi bagiku adalah pertunjukan yang luar biasa. Aku sangat menikmatinya, karena aku menjelmakan diri sebagai anak kecil yang tengah mendengar dongeng tentang putri embun, putri bulan, dan pangeran bintang, beserta perabotan rumah tangga yang dihidupkan. Tidak perlu dirumit-rumitkan dengan berbagai teoritis, dramaturgis, struktur, wacana, dan lain sebagainya. Bukankah kita datang ke sini untuk menyenangkan diri sendiri dan mencari kesenangan dalam menonton sebuah pertunjukan?”

Entah, apakah komentarku itu bisa mereka cerna atau tidak. Namun bagiku, memang semestinya pelaku presentasi sudah harus memikirkan cara agar orang yang datang menonton memiliki arah yang jelas, memberikan jembatan sebagai ruang imajinasi kepada penonton, agar penonton bisa menikmati pertunjukan itu sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pelaku presentasi. Lalu bagi penonton, datanglah menonton, untuk mengapresiasi sebuah karya seni, tanpa membawa masalah terlebih dahulu, apalagi mencari-cari kekurangan pada karya seni yang dinikmati. Artinya, penonton harus memiliki cara yang berbeda dalam mengapresiasi sebuah karya seni yang berbeda pula.

Memang, orang-orang postmodern menyatakan bahwa setiap orang bebas menginterpretasikan sebuah karya seni, namun ketika aku berkarya, aku juga memiliki keinginan agar karyaku bisa dinikmati orang lain secara bebas, namun terarah. Atau dengan kata lain, ada benang merah sebagai penghubung imajinasiku dengan penonton, ada jalan utama yang harus dilalui dalam menikmati karya yang aku ciptkan, meski apa yang didapatkan dan apa yang dimaknai dari setiap jalan yang ditempuh akan berbeda-beda.

Ah, kembali lagi aku berterima kasih kepada anak kecil yang tadinya sangat menggangguku dengan celotehannya. Aku harus menyadari, bahwa pelaku seni, pendukung seni (dalam hal ini penonton) serta kritikus seni harus belajar lagi untuk saling berhubungan, tanpa harus membuat jarak, menciptakan karakter eksklusif seniman, dan tanpa harus terjebak pada teoritis yang baku. Dari pertunjukan ini aku belajar banyak tentang cara pandang, dan cara berbeda dalam memaknai sebuah pertunjukan.

Selamat dan sukses buat bengkel mime, atas pertunjukan kalian.

Aku kembali pulang membawa senyum dan berjuta khayalan yang kubangun kembali, me-recall kenangan indah semasa kecil, menciptakan imajinasi sendiri dan bahkan menciptakan sendiri sebuah pertunjukan teater yang luar biasa dalam imajinasiku. Aku tertidur pulas malam ini, bersama mimpi dan sejuta khayalan.



_______________

Catatan: Tulisan ini adalah hasil dari pemikiranku tentang pertunjukan teater mime pada tanggal 29-30 Mei 2010, yang berjudul “PUTRI EMBUN DAN PANGERAN BINTANG, disutradarai oleh Andy Sri Wahyudi, dan dipentaskan di Concer Hall Taman Budaya Yogyakarta

31 Mei, 2009

"Ngerumpi" ala Teater Sahita, dalam 'Gathik Glinding'

Oleh: Syahrul Qodri



Pagi itu, ibu kostku menggedor pintu kamar teman sebelah, tapi kebetulan teman yang punya kamar sedang tidak ada di tempat. Mungkin ia ingin menagih pembayaran kost, tapi berhubung teman itu tidak ada, ia mengomel tidak karuan. Bersamaan dengan itu, seperti biasanya pada waktu yang relative sama, pedagang sayur keliling melewati gang sempit depan kost dan mengundang kehadiran dari beberapa ibu-ibu tetangga yang ada di sekitarnya.

Ocehan ibu kostku terus berlanjut bersama taman-teman sebayanya, menyalahkan anak kost yang sering kali telat membayar kewajibannya, dan tidak jarang banyak pula anak kost yang melarikan diri, dan membuat masalah-maslah yang meresahkan. Pembicaraan ibu-ibu itu merambah ke masalah anaknya masing-masing yang sekolah atau kuliah, lalu membutuhkan biaya sekolah. Ibu yang satu menimpali dengan berharap pada suaminya yang akan datang dari jauh. Ibu yang lain bicara soal anak gadisnya yang ingin menjadi artis sinetron, atau jadi model iklan, disambut dengan ibu yang lain dan membahas masalah warisan, sementara ibu yang lain…, dan ibu yang lainnya lagi…,

Aku terpaku di kamar mendengar celotehan ibu-ibu itu sambil menghisap rokok dalam-dalam, meneguk segelas kopi, mendesah pelan, lalu pikirku pun melayang entah ke mana.

Serasa bermimpi, tiba-tiba aku hadir di sebuah pesta sederhana disuguhi oleh nikmatnya minuman hangat. Aku mengambil segelas kopi dan meneguknya perlahan. Pandangan mata liarku tertuju pada dua sosok gadis cantik luar biasa. Matanya begitu indah, dihiasi kulit wajah yang jernih, rambut bergelombang tertata, lalu dengan senyum lembut menawarkan beberapa bungkus rokok. Ia mengenakan baju merah menyala. Di dadanya tertulis Jarum Super. Dalam hati kubergumam, sungguh sempurna Tuhan menciptakan permempuan-perempuan ini.

Saat khayalku kian jauh melayang, tempak lagi wajah ibu-ibu rumah tangga yang sedang melakukan aktivitas-aktivitas keseharian. Tapi ibu-ibu yang ini hanya lima orang, memiliki kostum dan karakter yang berbeda dengan ibu kostku atau teman-teman sebayanya itu. Mereka menjalani aktivitasnya sambil nembang karawitan Jawa yang hingga kini masih mereka hidupkan, meski kadang tembang yang didendangkan terdengar unik dan lucu, mengundang gelak tawa yang luar biasa.

Tembang-tembang yang didendangkan terus berlanjut diiringi tarian-tarian sederhana yang unik dan dibarengi irama musik yang berasal dari lantunan suara-suara nyaring mereka sendiri. Meski badan sudah sedikit berisi, dan usia sudah kian menua, namun gerakan tarian itu begitu kompak, goyangan tubuh mereka begitu lembut, lemah gemulai, layaknya penari puteri remaja cantik yang mampu menyedot perhatian siapa saja yang melihatnya.

Aku masih menikmati batangan rokok dan segelas kopi di sampingku, sambil memperhatikan sekelilingku yang semakin riuh oleh gelak tawa. Gelak tawa yang kian riuh itu ternyata berasal dari orang-orang yang cukup terkenal, seperti Butet, Jaduk, Mas Ong, Mas Besar, para aktris idola dari Teater Garasi, dari komunitas teater dan tari lainnya, dan banyak lagi, hampir 500-an orang melihat ibu-ibu itu menari dan nembang.

Seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya, mereka kembali ngerumpi, membicarakan banyak hal, dimulai dari suami masing-masing yang mereka banggakan. Seorang ibu menunjukkan kemampuan suaminya yang menjadi Ketua RT. Sosok Ketua RT adalah pejabat yang sangat berjasa meski berada di tingkat level bawah. Ocehan-ocehan itu tentu nyerempet kepada nuansa ataupun praktek politik yang mereka lakukan, seperti membantu orang-orang terdekat, memberikan sumbangan atau lainnya dengan tujuan untuk “menarik simpati” agar terpilih menjadi ketua RT, persis seperti yang dilakukan oleh para calon legislative yang memberikan sumbangan secara besar-besaran dan habis-habisan kepada masyarakat agar mereka terpilih. Mungkin beruntung bagi yang terpilih, tapi bagi yang tidak, tentu mengalami beban yang luar biasa, sehingga tidak sedikit yang mengurung diri di RSJ. Atau bisa sama layaknya elite politik kita di level pemerintahan yang bertarung pada taraf “pencitraan” semata, tanpa esensi kerja yang lebih nyata untuk memperbaiki bangsanya.

Harus diakui, ini adalah sebuah rumpian yang cerdas, mendidik, dan tentunya sarat dengan makna yang bisa ditangkap melalui berbagai perspektif dan bisa diterjemahkan dengan berbagai interperatif, serta tidak luput pula mengundang gelak tawa, menghibur siapa saja yang mendengarkan ocehan mereka.

Ambil satu contoh ocehan mereka yang membahas masalah “burung”. “Burung” bisa diartikan sebagai “burung” sesuai dengan realita yaitu binatang yang bisa terbang, bersayap, dan berekor, karena memang mereka tengah memegang burung-burung yang terbuat dari kertas. Tetapi burung yang dibicarakan menjadi “aneh” ketika mereka menyadari, pada burung–burung itu terdapat gambar-gambar, atau ada tulisan-tulisan, lalu bentuk burung yang besar dan kecil, ada yang panjang dan pendek, ada yang kaku dan lemes, ada yang suka kelayapan terbang kesana-kemari, bahkan ada yang kejam dan sadis.

Hal yang lebih aneh bila kata “burung” itu dilekatkan pada kata “suami”, menjadi “burung suamiku”, lalu berkembang menjadi pemikiran, bagaimana menjaga burung itu agar tidak terbang kemana-mana, dan hanya boleh hinggap di satu tempat saja. Pernyataan-pernyataan tentang “burung” terlontar dan mengalir, membuat banyak orang tersindir, poligami dan polihandri menjadi satir, namun tentu saja bisa menimbulkan ledakan-ledakan yang mengalahkan petir.

Gunjingan terus berlanjut. Kini giliran teman mereka sendiri yang menjadi sorotan. Ada sikap-sikap yang mereka tidak sukai dari temannya yang kini memiliki kelebihan dibandingkan mereka, entah itu berupa materi ataupun kelebihan lainnya. Di satu sisi, gunjingan itu kadang memiliki kebenaran relative jika bersumber pada kenyataan-kenyataan hasil dari pengamatan mereka, atau berangkat dari apa yang mereka rasakan. Kelebihan dan kekurangan itu memang selalu melekat pada setiap manusia, seperti roda yang berputar, kadang bisa di atas, kadang berada di bawah.

Seiring waktu yang terus bergerak, hidup pun merangkak. Usia seseorang kian menua, lalu bergulirlah kehidupan itu menciptakan perubahan-perubahan yang kadang menyenangkan, tetapi juga kadang menyakitkan. Perubahan itu bisa menyenangkan jika apa yang diharapkan bisa tercapai, tapi di sisi lain bisa menyakitkan jika apa yang diinginkan direbut oleh orang lain yang lebih muda, yang lebih mampu, dan mungkin pula lebih menggairahkan.

Ibu-ibu itu semakin deras menunjukkan rasa kecewanya, berharap untuk selalu dapat perhatian dari orang lain, terutama dari orang-orang yang berada di sekitarnya, di lingkungannya, atau mungkin dari bangsanya. Usia yang kian menua, tidak mengharuskan kita untuk meminggirkan mereka. Mungkin yang muda bisa menggantikan posisi-posisi tertentu untuk menciptakan perubahan yang lebih, tapi bukan berarti kita harus mengusir dan mengasingkan mereka, melainkan justru harus banyak menghormati dan belajar bersama menuju ke arah yang lebih baik guna kebaikan dan kedamaian bersama.

Ibu-ibu di depanku itu membuktikannya dengan tampil menari, menunjukkan gemulai tubuhnya, kelembutan gerakannya, serta kecerdasan ocehan-ocehannya, dan sekitar 500-an orang bertepuk tangan riuh menggemakan decak kekaguman buat mereka mereka.

Kembali kunikmati kopi yang masih sedikit tersisa di gelas plastic sambil menyalakan rokok yang tinggal satu biji. Pandangan mataku liar dan tajam mencari gadis yang masih duduk manis di kejauhan sana. Ah, ia masih duduk di situ, dan kecantikan serta keanggunannya membawa fikirku kepada para ibu-ibu yang sedemikian cerdas menungkapkan berbagai peristiwa ‘hanya’ melalui rumpian sederhana.

Dalam hati kubergumam, hari ini mungkin dua gadis itu begitu istimewa, namun entah beberapa tahun lagi, akan digantikan oleh gadis yang lain, dan akan terus begitu. Lambat laun, ia akan menjadi sosok ibu-ibu, usia menua, namun akankah terpinggirkan? Akankah mereka yang begitu sempurna kini akan tersingkir oleh generasi berikutnya? Atau, …? Bukankah sebaiknya kita mencoba memahami fenomena alamiah ini untuk bisa saling mengerti untuk saling mengisi, lalu lahirlah rasa saling menghormati, saling memberi kasih sayang dan tergapainya harapan, dan akhirnya tercipta keharmonisan dan kedamaian bagi semuanya.

Tiga karakter perempuan yang berbeda kucermati hari ini, namun tidak bisa dipungkiri mereka memiliki kesamaan lahiriah, dan “menuntut perhatian kita”, baik dari kalangan muda ataupun tua, kalangan pria muda ataupun bapak-bapak, kalangan pejabat atau rakyat biasa, kelompok kesenian atau pengusaha, dan semua tanpa terkecuali.

Kopi di gelasku kini habis, bersamaan dengan rokok pada isapan terakhir dan kumatikan perlahan. Kutengadahkan kepalaku seraya berbisik kepada Tuhan, betapa Sempurna Engkau menciptakan alam dan isinya dengan berbeda-beda untuk bisa menyatu dalam satu kondisi tertentu dan pada akhirnya akan menghadap pula pada Yang Satu.


Salutku buat pementasan Teater Tari Sahita 'Gathik Glinding' Sabtu, 30 Mei 2009 di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Sahita merupakan sebuah kelompok teater tari yang beranggotakan lima orang perempuan. Dibentuk tahun 2001 dengan dasar tari, teater dan kemampuan vokal yang baik, Sahita bisa dibilang sangat produktif berkarya, dengan respon yang sangat baik di lingkungan seni pertunjukan maupun masyarakat umum. Berbagai persoalan dari hal-hal yang sederhana serta keseharian yang diangkat mampunya menjadi fenomena yang universal dan aktual. Selain memproduksi karya sendiri, Sahita juga aktif mendukung dan mengikuti berbagai lokakarya dan pertunjukan bersama kelompok kesenian lain, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sumber dan artikel terkait:

http://www.facebook.com/events.php?ref=sb#/event.php?eid=87569485905

http://artistmate.com/event/teater-tari-gathik-glindhing-oleh-kelompok-sahita-di-teater-salihar

http://www.tempointeraktif.com/hg/panggung/2009/03/24/brk,20090324-166316,id.html

http://persinggahan.wordpress.com/2009/03/22/gathik-glinding-yang-cerewet/

01 Mei, 2009

Antara Tamu yang Terhormat dengan “Keluarga TOT” Gandrik

M. Syahrul Q




Seperti biasanya, aku sediakan waktu untuk mampir di salah satu toko buku di Shopping Center Yogyakarta. Aku ingin mencari satu buku yang saat itu sangat penting untuk kujadikan referensi. Tapi kok agak aneh, hari itu mereka tutup cepat sekali (tidak seperti biasanya, jam 5 sore). Untung aku bisa menemui ibu langganan tempat biasanya belanja buku.
“Waduh, Mas. Kita mau segera tutup nih. Kita mesti tutup sampai seminggu” Kata ibu itu.
“Memangnya kenapa, Bu?” Tanyaku heran.
“Besok kan ada peresmian Taman Pintar di sebelah oleh pak SBY. Pak SBY mau datang ke sini lho Mas.” Wajah ibu sedikit berseri, seperti senang kedatangan tamu terhormat, tapi beberapa saaat kemudian, ia melajutkan dengan nada lesu, “…tapi kita mesti tutup untuk beberapa hari, Mas.”
“Ooo…., sabar, Bu. Itu demi pengamanan kepala Negara.” Jawabku datar, mencoba menghibur kelesuan ibu tadi.

Aku jadi teringat waktu aku SD dulu, peresemian sebuah waduk di pinggiran kotaku, oleh presiden Soeharto. Teman-teman dimintai sumbangan masing2 Rp.1000,- untuk membeli bendera dan transport pergi ke lokasi. Waktu itu, uang Rp.50,- saja cukup jadi uang saku sehari, dan membeli jajanan. Tapi karena itu adalah perintah, meski berat, harus dilaksanakan. Dengan merengek-merengek aku minta uang seribu ke ibuku, sampai nangis dan mengancam untuk tidak sekolah lagi. Dengan susah payah, ibu mencarikan pinjaman kesana kemari. Setelah dapat, aku langsung berangkat ke sekolah. Di sana teman-teman sudah kumpul, dan siap berangkat ke lokasi penyambutan. Menggunakan bus kecil, kamipun berangkat, lalu diberhentikan pada jarak sekitar 5 KM dari lokasi. Di sana sudah banyak siswa-siswa dari SD lainnya membawa bendera merah putih.

“Kita di sini!” perintah ibu guru.
Itu artinya kita hanya dapat melihat bapak presiden lewat menggunakan mobil mewah kepresidenannnya. Waktu itu, sekitar pukul 12 siang. Matahari menyengat keringat. Tidak sedikit siswa-siswa SD yang jatuh pingsan karena panas dan berjejalan. Dan itu, “demi penyambutan kedatangan presiden”. Beberapa lama kemudian, iring-iringan mobil dengan bunyi sirine pun melaju kencang di depan mata. Para siswa SD melambai-lambikan benderanya. Entah, apakah orang yg di dalam mobil peduli atau tidak. Setelah itu, pulang.

Aku bergumam dalam hati, hanya itu? Begitu susahnya ibuku mencari uang pinjaman, hanya untuk melihat presiden lewat? Lalu gumamanku itu terungkap lagi, pada bulan Desember 2008 lalu. Hanya untuk kedatangan seorang presiden, toko-toko buku harus tutup? Bayangkan, berapa banyak toko buku di Shopping Center Yogya, yang harus tutup. Bukan hanya toko buku, tapi juga toko-toko lainnya. Berarti, akan berapa banyak orang yang menganggur, tidak bekerja mencari nafkah, hanya karena kedatangan presiden?

Berbagai alasan pembenaran kita dengar, terutama masalah keamanan. Tetapi ini tentulah sebuah pemaksaan. Pemaksaaan terhadap pembenaran, meski kita tidak menyukainya.

Begitulah kalimat yang ingin disampaikan oleh István Örkèny dalam naskahnya yang berjudul Tóték, yang dipentaskan semalam (29 April 2009)oleh Gandrik menjadi Keluarga TOT. Agus Noor mengatakan, Keluarga Tot boleh dibilang merupakan salah satu karya agung (masterpeace) yang pernah dihasilkannya. Ia dikenal sebagai penulis yang bergaya satir dalam melihat situasi masyarakat. Beberapa karyanya, antara lain novel dan lakon, seperti, Ocean Dance (1941), One Minute Stories, yang merupakan buku kumpulan cerita paling populer yang dihasilkannya dengan gaya absurd dan grotesque yang khas dirinya. Ia sempat tinggal di Moskow, di lingkungan buruh, dan menuliskan lakon Voronesh, sebelum kemudian ia kembali menetap di Hungaria tahun 1946. Ia kemudian menjadi penulis lakon terpenting Hungaria, ini didibuktikan ketika pada tahun 2004 namanya diabadikan menjadi nama gedung teater di Budapest: Örkeny Theater.

Secara pribadi, saya tidak mengetahui, apakah naskah asli Tóték berbau komedian atau tragedik, namun naskah itu di tangan Gandrik menjadi sesuatu yang sangat unik. Saya melihat, Gandrik membawakan keluarga TOT dengan menginterpretasikan pada persoalan kekinian bangsa ini, meskipun latar naskah tersebut terjadi pada saat perang dunia II. Hal ini bisa jadi menjadi nilai lebih bagi pementasan ini, meski Eka Kurniawan merasa gelisah akan hal itu.

Mari kita lihat, tokoh Pak Pos (sebagai adegan awal) membawa beberapa surat, yang harus segera tiba ke penerimanya. Pak pos yang seolah memiliki kekuasaaan atas keberadaan surat-surat itu, deng leluasa membaca isi surat, melihat apa yang terjadi, bahkan tidak jarang membuang beberapa surat (ke penonton). Hal ini adalah cerminan kepada kita bahwa masyarakat kita sedikit sekali yang memiliki tanggung jawab dan bertanggung jawab terhadap tanggungan atau tugas yang diberikan itu. Berbagai alas an pembenaran dari pak pos selaku penguasa surat, sekedar membenarkan diri atas apa yang dia lakukan.

Gelak tawa tedengar riuh dari penonton. Gandrik memang ahlinya menciptakan suasana konyol, unik, lucu, tapi cerdas. Saya tidak tahu, apakah penonton sadar, mereka juga tengah menertawakan prilaku masyarakat kita yang note benenya tidak lebih baik dari pada pak pos itu. Karena bagaimanapun, seperti yang dikatakan di atas, Gandrik mampu membawa naskah ini pada kondisi kekinian negeri ini, dengan menampilkan berbagai kritikan kepada para politisi, pejabat pemerintahan, dan lain sebagainya.

Sekitar 2,5 jam lebih, pentas berlangsung. Cukup melelahkan, tetapi tidak membosankan. Berbagai peristiwa dimunculkan, menggambarkan dua budaya yang tergabung dalam satu lakon, budaya Hongaria dan budaya Jawa. Hongaria adalah semacam ‘meeting point of cultures’. Budaya Hongaria tidak hanya mampu mempertahankan keaslian nilai-nilai budayanya, namun dapat juga dengan pintarnya menyeleksi pengaruh budaya lain. Walaupun sempat menjadi salah satu satelit Uni Soviet di masa Perang Dingin, Hongaria telah terbukti mampu bangkit dan menjadi negara eks-komunis yang paling sukses dalam hal pertumbuhan ekonomi dan demokratisasi (http://sherwintobing.com/). Sedangkan budaya di Jawa atau Indonesia pada umumnya masih bolong sana sini. Sehingga naskah yang ditulis oleh István Örkèny sekitar setengah abad yang lalu, masih terasa menggelitik saat ini di Indonesia.

Saya menangkap peristiwa yang terungkap adalah sebuah pelayanan bagi seseorang secara berlebihan, dan pelayanan itu dilakukan karena keterpaksaan, bukan kerelaan apalagi kewajiban. Kegilaan yang terjadi pada keluarga TOT karena berada dalam tekanan sang Mayor, yang memiliki kuasa atas keluarga tersebut, meski ia hanyalah tamu di rumah itu. Lalu, bagaimana kita menyikapi orang-orang yang datang ke Indonesia? Apakah kita penah bertanya, kitamelayani mereka dengan baik atau justru kita merasa tertekan atas pelayanan tersebut?

Tentu kita ingat betapa menunduknya orang-orang pemerintahan Indonesia ketika Bush presiden Amerika mendarat di Bandung beberapa waktu lalu. Atau Hillary Clinton yang mengunjungi SBY, lalu serta merta memberikan nasihat (perintah) untuk menangani masalah Papua. Bukankah kita yang punya rumah, dan semestinya kitalah yang mengurus rumah kita sendiri, tentu dengan penuh tanggung jawab dan mendahulukan kepentingan bersama. Sebegitu bodohkah kita, sampai masalah intern rumah tangga kita harus ditangani oleh orang lain?

Dalam perenungan semacam itu, aku berangkat pulang. Setiba di rumah, sekitar jam 12 malam, seorang teman datang berkunjung. Sempat heran, kok bertamu tengah malam begini? Dengan senyum memelas, temanku mengatakan, “Boleh saya menginap beberap hari di tempatmu?”

29 April, 2009

Plencung Two Teater Ruang

Syahrul Q

Susuri jalan basah, karena gerimis baru saja usai. Hingar-bingar kota Jogja yang katanya kota budaya, dipenuhi oleh kerlip lampu kota ala modern. Sepanjang jalan, terlihat toko-toko berjejeran, berjualan barang-barang ala modern pula. Pemandangan yang paling banyak terlihat adalah counter-counter HaPe, berjualan pulsa serta berbagai pernak-pernik accessories HaPe yang saat ini telah menjamur, bahkan seolah menjadi kebutuhan pokok melebihi kebutuhan makan.

Lampu merah menyala di traffic light. Beberapa kendaraan berhenti dengan patuh. Seorang pengamen jalanan menyanyikan lagunya setengah, lalu mendongakkan telapak tangannya buru-buru, karena ada dering HaPe di kantong celananya. Aku tidak terlalu peduli, karena khawatir, gerimis sepertinya akan turun lagi, dan jika motorku kena hujan, alamat macet dan tidak akan sampai tujuan.

Beberapa saat kemudian, akhirnya tiba di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja, Kasihan Bantul. Sebuah tempat yang agak sepi, dan jauh dari hiruk-pikuk kota Yogyakarta. Di sana, aku bertemu dengan orang-orang hebat yang melibatkan diri dalam dunia kesenian. Sayangnya mereka tidak mengenalku, karena memang aku tidak terkenal seperti mereka, dan itu tentu membuatku lebih leluasa memperhatikan semua peristiwa yang terjadi, dan tidak menuntutku lebih banyak ngobrol sana-sini, dari pada mempersiapkan diri untuk menyaksikan Teater Ruang.

Ya. Bagiku, menonton teater harus memiliki persiapan tersendiri, mengumpulkan semua energi, kemampuan intelektual berbaur pengalaman, karena menonton teater tidak seperti menonton hiburan semata. Menonton teater adalah melebur dalam cerminan keseharian kita sendiri, dan setelah pulang nanti, kita bisa merenung kembali, lebih banyak berfikir, lalu memberi perbaikan pada diri yang tentu penuh dengan alpa.

Gelap. Lampu panggung mati total. Kerlip-kerlip lampu merah kecil hanya berasal dari para photographer yang siap mengambil gambar. Ada juga sinar dari sebagian cewek-cewek yang memainkan HaPe, karena tidak terbiasa dalam keadaan gelap seperti itu. Sejenak kupejamkan mata, menghirup suasana mistis yang sepertinya datang menghampiri. Sempat aku menduga, Teater Ruang akan mementaskan teater yang berbau mistis.

Sekitar 6 cahaya korek (kayu) api menyala bersamaan di panggung. Lalu mati. Korek api menyala lagi. Mati lagi. Menyala, kemudian mati lagi. Di belakang, di antara penonton, sebuah korek api menyala, lalu mati. Kembali di panggung korek api menyala berkelebat-kelebat, lalu mati. Disambut dengan korek api dari anak kecil yang berada di antara penonton. Seperti itu berlangsung beberapa saat, lalu mati.

Kembali kupejamkan mata, mengingat masa kecil dulu yang senang sekali memainkan korek api saat listrik mati. Anehnya hingga saat ini, jika listrik mati, kita selalu membutuhkan korek api, lalu menyalakannya, agar suasana gelap kembali tersinari. Gelap, terang, itulah kehidupan kita. Dan saat itu, aku berada di antara keduanya.

Anak kecil yang menyalakan korek api tadi bergerak, melangkah menuju panggung. Ia menyanyikan lagu jawa kuno, seperti mantra-mantra kesedihan atau kegalauan. Jujur, aku kurang mengerti kalimat-kalimat itu (karena aku bukan orang Jawa), namun lantunan lagu itu mampu menyedot bulu kudukku, merinding.

Anak kecil itu menyalakan api (seperti obor) di panggung. Dan hanya itu cahaya yang digunakan selama berlangsungnya pementasan. Kembali anak kecil bersuara (menggunakan bahasa Jawa). “…mas besar, aku ini sopo? Mas besar.. mas besar… mbokku sopo… mas besar mas besar…bapakku sopo? Mas besar mas besar…”

Pertanyaan yang sangat filosofis dilontarkan oleh anak sekecil itu. Mempertanyakan kembali hakikat kehidupan seseorang, layaknya Socrates atau bahkan Thales yang sekitar ratusan sebelum Masehi mempertanyakan hal yang sama. Pertanyaan itu segera memenuhi otakku yang mulai pening. Pertanyaan itu sering kali kumunculkan di berbagai kesempatan, namun sangat sedikit yang bisa menanggapinya dengan serius. Dan anak kecil itu menyadarkanku, betapa bangsa ini jarang sekali mempertanyakan hakikat keberlangsungan hidupnya.

Pementasan terus berlangsung dengan berbagai eksplorasi tubuh yang luar biasa dari para pemain. Mereka melakukan berbagai aksinya dalam suasana remang-remang itu. Cahaya obor yang terus menyinari seisi panggung sangat membantu membentuk symbol-simbol yang ingin disampaikan oleh sutradara (Joko Bibit), tanpa dibantu oleh lighting elektrik lainnya.

Dialog berikutnya kembali terlontar dari actor kecil itu. Masih menggunakan bahasa Jawa, mengemukakan peristiwa terjadinya banjir di berbagai daerah, seolah peristiwa banjir itu sedang ia alami sendiri. Suara teriakan anak kecil yang histeris minta tolong, memanggil-manggil mbok dan bapaknya, membuatku semakin merinding.

Peristiwa banjir memang sering kali terdengar di media, bahkan sangat sering, seolah menjadi sarapan pagi. Banjir di Jakarta, peristiwa Situ Gintung, menguapnya sungai Bengawan Solo, banjir di daerah Sumatra, di Jawa, dan berbagai daerah lainnya selalu terjadi, berulang kembali, terjadi lagi, dan tidak pernah ditangani secara serius. Banjir kembali terjadi, sumbangan berupa uang dan sembako berdatangan (kadang telat, terutama dari pemerintah), setelah itu selesai. Tidakkah terpikir bagaimana menanganinya agar tidak terjadi banjir lagi? Berbagai elemen melakukan penelitian, lalu hasilnya kosong. Kalupun ada usul yang bagus, tidak akan digubris, selama usul itu tidak menguntungkan bagi pemerintah. Alasan yang paling sering dikemukakan adalah tidak ada dana, tapi untuk kampanye yang menghabiskan ratusan triliun selalu ada.

Kembali ke pementasan Teater Ruang. Yang menjadi aneh adalah, banjir yang diungkapkan anak itu bukan ‘hanya’ banjir dari air, tetapi banjir HaPe, banjir TV, banjir Kulkas, banjir motor, banjir mobil, dan banjir berbagaio modernitas lainnya. Dan itu disebabkan oleh jebolnya tanggul atau bendungan yang dimilikinya. Tentu saja, tanggul yang dimaksudkan juga bukan semata tanggul biasa, tetapi filter nurani dalam menerima berbagai kebudayaan yang masuk dari luar.

Sekilas tergambar betapa ngerinya tanggul jebol di Sidoarjo yang membuat Lumpur Lapindo menenggelamkan perkampungan sekitarnya. Sayangnya, peristiwa itu tenggelam dari media yang lebih sibuk mengurusi calon pemimpin negeri ini yang sibuk mencari koalisi dalam meraih kekuasaan. Sementara di penampungan pengungsi di sana, masih harus bersama-sama menggunkan fasilitas umum yang disediakan ala kadarnya. Tidak jarang terdengar teriakan-teriakan dari para pengungsi yang sudah semakin stress. Anehnya media lebih suka menyoroti stressnya para caleg gagal.

Jebolnya tanggul dalam menyaring budaya luar yang masuk ke negeri ini membuat para generasi kita semakin haus akan produk-produk luar negeri yang sangat menjanjikan itu. Gonta-ganti HaPe menjadi trend. Bahkan Wapres kita tidak mau kalah, segera belajar menggunakan blackberry, ingin menyaingi Obama yang menang pemilu kemarin, meski Wapres kita masih sedikit GATEK (gagap teknologi).

Singkat cerita, pentas pun usai. Para penonton pulang dengan membawa kenangan masing-masing. Para wartawan sibuk wawancara dengan para pemain dan sutradara. Aku sendiri masih terpaku, merenung, dan tidak bisa bergerak, karena rasa merinding itu masih menyelimuti. Hingga para petugas panggung hendak menggulung tikar, baru aku menyadarkan diri untuk bengun dan pulang.

Di jalan, gerimis masih mengancam. Hal ini menuntutku harus segera sampai di rumah. Tapi, traffic light berwarna merah menghalangi laju motorku. Kembali kumelihat beberapa pengamen jalanan, menyanyikan lagunya setengah, lalu mencondongkan tangan berharap ada pemberian dari pengendara yang terjebak lampu merah. Di pinggir jalan, beberapa pengamen lain sibuk sms dan memainkan HaPe. Di sepanjang jalan, kota Yogyakarta, yang katanya kota budaya, masih terlihat sangat ramai, karena kerlap-kerlip lampu kota dan dari toko-toko penjual produk, masih buka.

Dalam hati kubergumam, “ah.., Teater ruang. Ruangmu sepi. Ruangmu hening. Tapi dari sepi yang hening itu aku merasakan kebanjiran pencerahan nurani.”

27 Maret, 2009

SENIMAN menjadi PRESIDEN?

Mari kita simak berita ANTARA berikut ini...,

Surabaya (ANTARA) - Tidak hanya Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir (SB) yang datang berkampanye di Jawa Timur, namun aktor kawakan Deddy Mizwar, pelawak Eko Patrio, dan pelawak Mandra pun "menyaingi" petinggi Parpol yang sudah lama berkecimpung dalam dunia perpolitikan itu. Bahkan, Deddy Mizwar yang merupakan aktor yang dikenal dengan sinetron "Kiamat Sudah Dekat" itu datang ke Surabaya untuk menerima dukungan 13 partai politik (Parpol) sebagai Presiden RI.

Para pengurus 13 Parpol nonparlemen di Jatim itu menandatangani dokumen Deklarasi Koalisi Merak (Mengutamakan Rakyat) di Surabaya, untuk mengajukan Deddy Mizwar dan Saurip Kadi sebagai pasangan Capres-Cawapres.

"Kami berharap koalisi ini bisa memenuhi parliamentary threshold (ambang batas perolehan kursi di DPR) sebanyak 2,5 persen, sehingga pasangan Deddy-Saurip bisa kami ajukan sebagai Capres-Cawapres," kata Siti Rohani, selaku Ketua Panitia Deklarasi Koalisi Merak.

Menurut dia, kalau saja Mahkamah Konstitusi (MK) tidak memutuskan parliamentary threshold sebesar 2,5 persen, mungkin partai-partai itu tidak perlu mengadakan koalisi.
"Seharusnya semua parpol berhak mengajukan calon sendiri-sendiri, apalagi ke-13 parpol ini tidak memiliki cacat dan tidak pernah menyakiti hati masyarakat. Beda dengan partai-partai besar yang kadernya duduk di lembaga legislatif," kata Rohani.
Sementara itu, Deddy Mizwar menegaskan, terbentuknya Koalisi Merak sebagai bukti keseriusan dirinya sebagai capres.
"Justru para pemimpin parpol besar yang tidak serius mencalonkan dirinya sebagai presiden karena masih menunggu Pemilu. Kalau kami, sejak awal sudah serius," kata pria berusia 54 tahun itu.

Keseriusannya terjun dalam politik praktis itu, lanjut dia, dilatarbelakangi oleh keresahan masyarakat terhadap situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya saat ini.
"Tapi yang perlu diingat niatan kami terjun ke dunia politik, bukan untuk mengejar popularitas dan kekuasaan. Kami hanya ingin menjawab keresahan masyarakat," katanya.
Dalam pencalonannya sebagai Presiden RI itu, dia menggandeng Saurip Kadi, purnawirawan TNI berpangkat Mayor Jenderal yang pernah menjadi anggota DPR dari Fraksi TNI/Polri.

Ke 13 parpol yang mendeklarasikan Koalisi Merak itu adalah Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN), Partai Kedaulatan, Partai Pemuda Indonesia (PPI), Partai Nasional Indonesia Marhaen (PNI Marhaen), dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI).
Selain itu, Partai Pelopor, Partai Damai Sejahtera (PDS), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Indonesia Sejahtera (PIS), Partai Merdeka, Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), dan Partai Buruh.

Sumber : http://id.news.yahoo.com/antr/20090327/tpl-deddy-mizwar-dan-eko-patrio-saingi-s-cc08abe.html

Sebagaimana kita ketahui, rakyat Indonesia saat ini sudah sangat pesimis terhadap perkembangan bangsanya sendiri, terlebih lagi ketika banyak yg mengambil langkah GOLPUT dalam menyikapi berbagai perkembangan politik.

Pertanyaannya adalah, Mas Dedy kini hendak terjun..., (entah itu hanya sebatas WACANA, ataupun serius...), apakah ini menjadi suatu gejala akan adanya harapan baru di didunia perpolitikan Indonesia?
Semoga para seniman Indonesia dapat melihat ini, dan para mahasiswakritis terhadap segala yang terjadi, dan jangan sampai terjerembab ke dalam arus politik yang semakin busuk.

17 Maret, 2009

Teater Putih dalam Kenangan

PRESE


Kenangan tidak tercipta dengan sendirinya, tetapi dibentuk oleh apa yang telah diperbuat. Apa yang diperbuat, tidak mengalir dengan sendirinya, tanpa adanya kesadaran untuk "mau" berbuat. Kesadaran tidak hinggap dengan tiba-tiba, tetapi ia kan datang saat kita bertanya dalam gelisah. Bertanya dalam gelisah, berarti kita sudi untuk berpikir, apa yang mesti diperbuat, dengan sadar, dan akhirnya, orang akan bertanya-tanya gelisah untuk mengukir kenangan baru ..., tentang kita.


LALECON



Hal ini berarti, kenangan itu mesti "dibuat"
Pahit manisnya, untuk kita teguk bersama lusa nanti...

EGON

04 Maret, 2009

PENELANJANGAN JIWA MANUSIA DALAM "INSPEKTUR JENDERAL" KARYA NIKOLAI GOGOL

oleh : Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)

Apresiasi sebuah drama sering dikategorikan sebagai bentuk pencerminan kehidupan masyarakat yang menjadi representasi kondisi sosial. Tidak sedikit drama yang isinya padat dengan kritikan-kritikan dan sindiran-sindiran terhadap isu perilaku masyarakat yang merajalela. Terkadang drama-drama tersebut sekaligus menjadi bentuk protes beberapa kalangan pada apa yang terjadi di kehidupan sosial masyarakat tertentu. Seperti drama Albert Camus yang berjudul Caligula berisi tentang kritikan terhadap sifat-sifat dasar manusia yang terlalu pasrah akan takdir sehingga membekukan harapan-harapan manusia itu sendiri dalam suatu kemajuan, dan drama Putu Wijaya yang berjudul DOR berisi tentang sindiran dan protes terhadap pemerintah dalam hal penegakan hukum yang tidak adil di Indonesia pada zaman orde baru.

Begitu pula halnya dengan drama komedi yang berbalut satire dari Rusia pada tahun 1836: Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol. Nikolai Gogol (1 April 1809 – 4 Maret 1852) adalah salah satu sastrawan Rusia pada akhir periode sastra romantik yang pada zaman Tsar menulis beberapa karyanya dalam bentuk karya sastra seperti drama sebagai bentuk sindiran dan kritikan juga penuh dengan ejekan terhadap pemerintah. Ia begitu apik sekaligus kocak. Karya-karyanya bersifat realis, biasanya diangkat dari fenomena kehidupan sosial yang ada di sekitar masyarakatnya dan sepenuhnya hasil rekaan pengarang semata.

1. Kemerosotan nilai-nilai kemanusiaan
Drama ini (Inspektur Jenderal) menyajikan sindiran-sindiran dan gambaran perilaku birokrasi Rusia di bawah Tsar. Seperti pada tokoh-tokoh para pejabat dalam drama ini mulai dari walikota pengawas sekolah, hakim, pengawas lembaga-lembaga sosial, kantor pos dan bahkan tuan tanah lebih mementingkan kepentingan pribadi daripada rakyatnya ketika ada seorang pemuda (Hleskov) yang dikira sebagai utusan dari pemerintah pusat (Tsar) datang mengunjungi daerah mereka. Mereka lebih sibuk menyelamatkan kepentingan mereka dan menopengi perbuatan kejamnya dengan berbagai cara.

Berbagai bentuk kejahatan mereka, telah membuat rakyat sengsara seperti korupsi, manipulasi, dan suka menindas rakyat jelata. Kekhawatiran dan kegelisahan melanda ketika mendengar kabar bahwa ada seorang Inspektur Jenderal dari kota Pyotrgrad datang ke wilayah mereka.
"Ini namanya baru celaka," keluh Ammos Fedorovich.
"Seolah penderitaan kita belum cukup berat," tambah Artemy Filippovich.
"Ya Tuhan, dengan tugas rahasia lagi," sambung Luka Lukich. (IJ: hal. 7)

Jika kedatangan tuan Inspektur itu datang secara terang-terangan tanpa ada yang ditutup-tutupi, mereka berpikir akan dapat mempersiapkan segalanya yaitu dengan merapikan bentuk-bentuk kekejaman birokrasi yang telah diperbuat dan juga dapat diadakan kompromi kepada ‘Inspektur tak dikenal’ itu dalam mengatasi permasalahan yang timbul. Di pihak lain, mereka telah berpikir jangan-jangan tanpa sepengetahuan mereka inspektur jenderal itu telah menemukan kebusukan dalam tubuh birokrasi. Menanggulangi hal tersebut, walikota (Anton Antonovich) memerintahkan seluruh jajarannya untuk secepatnya memanipulasi segala bukti tindak kejahatan mereka di berbagai bidang agar tidak tercium oleh Inspektur itu dan mereka pun terhindar dari musibah pelengseran jabatan yang dikiranya akan terjadi.

“Betul atau tidak, pokoknya tuan-tuan sudah kuperingatkan. Begini: Aku sudah membuat persiapan. Dan kalian kunasihatkan supaya melakukan hal yang sama. Terlebih-lebih kau Artemy Fillippovich. Tidak sangsi lagi, pejabat yang lewat itu pasti terlebih dahulu memeriksa lembaga-lembaga sosial yang berada di bawah departemen kita.” (IJ: hal. 10)

Kutipan di atas membuktikan bahwa seorang pejabat tertinggi di suatu wilayah dapat tergoyahkan dengan mudah hanya karena mendengar berita kabur mengenai kedatangan seorang pemuda yang tak dikenal yang dikiranya seorang Inspektur utusan pemerintah pusat (Tsar). Begitulah bukti sifat manusia sebenarnya yang digambarkan dari segelintir karakter pada tokoh-tokoh dalam drama Inspektur Jenderal.
Meskipun bergaya komedi satire, namun Gogol mampu membongkar dasar-dasar sifat buruk manusia dengan menelanjangi jiwa manusia yang sesungguhnya dipenuhi oleh unsur negatif. Manusia tidak lepas dari nafsu yang tidak habis jika peluang mendapatkan apa yang diinginkan terbuka bebas di depan mata. Gogol memperlihatkan begitu miskinnya moral manusia ketika dihadapkan pada satu kesempatan yang menggiurkan baik itu berupa materi atau pun jabatan tinggi. Bahkan untuk memperoleh semua itu, manusia bisa saja melakukan hal di luar dugaan misalnya menyiksa dan membunuh. Akan tetapi, drama ini sesungguhnya penuh dengan kekonyolan seolah Gogol mengibaratkan sejahat apa pun manusia pada dasarnya memiliki kecerobohan-kecerobohan yang dapat mengocok perut sehingga pembaca tidak merasa ada permasalahan serius dibalik cerita drama ini apalagi bagi pembaca yang masih awam.

2. Antara Realisme, Romantisme, dan Materialisme

Pasti sekiranya kita tidak menyangka dalam drama Inspektur Jenderal ini terdapat tiga aliran filsafat sekaligus di dalamnya, yaitu aliran realisme, aliran romantisme dan aliran materialisme. Aliran realisme ditunjukkan bahwa adanya penggambaran kehidupan sehari-hari yang jujur, obyektif, teliti, dan rinci dalam menampilkan seluruh kejadian kehidupan termasuk kebobrokan yang terjadi. Seolah-olah drama ini merupakan salah satu perwujudan representasi kehidupan sosial umat manusia pada suatu masa sehingga secara sadar dapat menyajikan fakta-fakta dan mendorong pembaca atau penonton untuk berpikir kritis. Misalnya: peristiwa Walikota beserta jajarannya yang melakukan tindak kejahatan di berbagai bidang terhadap rakyatnya (IJ: hal. 10), peristiwa rakyat yang mengadukan nasibnya terhadap seorang yang dianggapnya sebagai penolong (IJ: hal. 111), dan peristiwa seorang pemuda yang memiliki bakat sebagai seorang penyair (IJ: hal. 119).

Sedangkan aliran romantisme yaitu aliran yang lebih menekankan emosi dan kebebasan individu juga mementingkan perasaan dan imajinasi, dapat dilihat dengan adanya unsur-unsur persajakan (romantis) dalam drama ini sebagaimana yang diungkapkan oleh tokoh Hlestakov di beberapa adegan dimana ia begitu menjunjung tinggi nilai-nilai perasaan yang berbau romantisme, seperti jatuh cinta (IJ: hal. 119 dan hal. 121) dan adanya adegan Hlestakov yang secara tidak sengaja menyusun sebuah skenario drama merujuk pada kenyataan yang sedang ia hadapi saat itu (IJ: hal. 147).
Aliran materialisme sepertinya juga menyemarakkan kelengkapan dari keseluruhan isi drama Inspektur Jenderal tersebut, yaitu dengan adanya tokoh-tokoh yang kesemuanya ternyata memiliki sifat materialistis bahwa segala sesuatunya dicapai berdasarkan materi. Mulai dari tokoh Walikota dan keluarganya (IJ: hal. 131) beserta jajarannya sampai kepada rakyat: saudagar (IJ: hal. 135) juga Hlestakov sendiri bahkan dia yang lebih mendominasi untuk memperoleh materi dengan alasan untuk membiayai perjalanannya dan kebutuhan lainnya.

3. Penutup
Drama Inspektur Jenderal ini adalah bentuk fiksi dari realitas yang terjadi di Rusia pada zaman Tsar (kekaisaran). Kata-kata Inspektur Jenderal menjadi momok menakutkan saat itu dikarenakan menjamurnya tindak kejahatan yang termanipulasi oleh pemerintah terhadap rakyatnya. Contoh-contoh perilaku yang ditampilkan menjadi cerminan bagi kita bagaimana dan apa saja yang dilakukan oleh seorang yang terhadap orang lain (dalam hal ini yang tertindas) serta pada dasarnya yang tertindas itu juga telah diracuni oleh perilaku penindas tersebut.