02 Februari, 2009

MENGUAK TRADISI CINA PADA MASA 1918-1926 DALAM ‘CATATAN HARIAN ORANG GILA’ KARYA LU XUN

Oleh: Syukrina Rahmawati (rina_sf@yahoo.co.id)



Sekian banyak karya sastra dunia selalu menggambarkan latar belakang asal-usul karya sastra itu, baik dari daratan Eropa, Timur Tengah maupun Asia. Tak dapat dipungkiri, karya sastra dikenal sebagai pencerminan masyarakat yang ada dalam karya tersebut sehingga kita dapat memahami secara tidak langsung situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi background cerita pada sebuah karya sastra.

Cerpen Lu Xun yang berjudul ‘Catatan Harian Orang Gila’ adalah salah satu karya sastra realis yang mendobrak tradisi masyarakat Cina dan memaparkan secara gamblang kondisi rakyat Cina yang begitu memprihatinkan. Cerpen tersebut dilahirkan pada tahun sekitar 1918 sampai 1926 dimana pada masa itu kondisi Cina bergantung pada para penguasa dan para intelektual yang mendominasi kehidupan rakyatnya sehingga sangat tampak ada suatu kermarjinalan atau pembagian kelas-kelas status sosial terhadap yang lemah maupun yang kuat, terhadap penguasa dan yang dikuasai. Oleh karena itu, sastra Cina dikatakan indah ketika karya-karya yang dimunculkan berdasarkan kenyataan yang penuh dengan konflik, kemudian menjadi sebuah transformasi informasi terhadap para penikmat sastra.

Begitu variannya permasalahan politik dan sosial yang nampak sehingga memunculkan suatu ideologi terhadap pengarang (Lu Xun) dalam merespon kondisi-kondisi seperti itu. Tak heran Lu Xun dijuluki sebagai sebuah simbol ‘representasi ideologi komunis dalam sastra’ disebabkan oleh karya-karyanya yang menunjukkan kesetiaannya terhadap rakyat kecil yang membenci penindasan dan anti-penjajahan.

Lu Xun lebih memilih judul ‘Catatan Harian Orang Gila’. Mengapa memilih kata ‘gila’? ia merasa dengan menggunakan kata ‘gila’ pembaca akan lebih mengenal jauh asumsi-asumsi yang tidak hanya merujuk kepada kata ‘gila’ itu sesungguhnya karena sebenarnya ‘gila’ dapat dilihat dari perspektif mana saja. Pada cerpen ini, dikisahkan tokoh Aku yang memiliki kelainan jiwa (gila) karena ia memandang apapun di sekitarnya adalah hal yang benar-benar ganjil. Sikapnya tersebut merupakan bentuk real bahwa ia benar-benar gila. Pandangannya mengenai semua orang yang ada di sekitarnya dikatakannya sebagai orang-orang yang dapat membunuhnya kapan saja dan selalu memusuhinya sehingga kondisinya setiap hari selalu merasa resah serta menganggap apapun yang terjadi pada dirinya dapat membuatnya celaka kapan saja. Mungkin dapat dikatakan kondisi seperti ini adalah orang yang paranoid secara berlebihan sehingga menjadi gila. Kegilaan tersebut dialami oleh tokoh Aku semenjak ia menginjak-injak catatan Tuan Ku Chiu (seorang pada masa Kuno yang menjadi sejarah panjang tentang penindasan feodal di Tiongkok). Pemilik catatan itu (Tuan Chao) tentu saja menjadi geram sekaligus tidak senang dan itu dirasakan oleh tokoh Aku, sehingga dimanapun mereka berpapasan tokoh Aku selalu merasa takut.

Selain itu, Lu Xun berpikir dengan menggunakan kata ‘gila’ karena orang gila pada dasarnya dapat bebas melakukan apa saja dan berkuasa atas dirinya sendiri tanpa harus memikirkan pandangan orang lain mengenai dirinya. Tidak menutup kemungkinan kondisi seperti itu ‘dapat membahayakan orang lain’. Bila dikaitkan dengan jalan cerita, ‘gila’ bisa saja mengancam pada satu sistem kekuasaan yang sudah baku karena dapat memporakporandakan sistem tersebut sehingga mengancam suatu kepemimpinan seseorang. Secara langsung telah memperlihatkan kepada pembaca bahwa Lu Xun menyindir kekuasaan pada masa itu yang lebih mementingkan ‘isi perut’ saja daripada rakyat jelata yang mengalami kesengsaraan tiada akhir sekaligus menyindir rakyat Cina yang saat itu hanya bisa tunduk dan diam saja menyaksikan kebengisan para penguasa tanpa melakukan tindakan apapun (reaksi masyarakat Cina yang lebih memilih hegemoni penguasa daripada keadilan yang merata bagi seluruh rakyat Cina).

‘Gila’ dalam cerpen ini berarti ‘gila’ harta dan ‘gila’ kekuasaan. Para penguasa sibuk menata harta bendanya agar tak berkurang sedikit pun, jadi lebih sibuk memikirkan dirinya untuk bagaimana supaya terus bertambah kekayaannya daripada memikirkan kemiskinan rakyat yang terus menjadi akibat kerakusan para penguasa itu. Selain itu, para penguasa dan kaum revolusioner serta para intelektual sibuk mempertahankan kekuasaan agar tidak lengser dengan cepat dan kekuasaannya tersebut tetap memiliki kharisma di mata rakyat padahal kenyataannya bobrok. Sindiran-sindiran itu terasa sangat jelas dalam cerpen ini sehingga tokoh Aku hanya dijadikan sebagai alat untuk pembaca dapat memahami betul-betul isi cerita secara keseluruhan meskipun tokoh Aku dalam cerita dinyatakan gila (tidak waras) yang sesungguhnya.
Pada cerpen ini, kita juga dapat melihat pemilihan kata-kata seperti kanibal (makan orang) yang selalu dipergunakan Aku dalam ketakutannya setiap bertemu orang-orang di sekitarnya. Sebetulnya penggunaan kata kanibal itu merupakan simbol bahwa orang-orang pada masa itu memiliki sifat ‘kanibal’ (makan orang), disini dapat diartikan sebagai kerakusan dan ketamakan para penguasa hanya untuk melindungi dirinya sendiri dari bahaya yang dapat mengancam kedudukannya atau jabatannya sehingga tanpa basa-basi selalu menghalalkan segala cara agar semuanya itu terwujud. Seperti pada kutipan: “Aku sadar bahwa semua perkataan mereka mengandung racun dan di setiap lipatan tawa mereka terselip pisau belati yang siap menyayat. Gigi mereka putih dan berkilau; mereka semua adalah kanibal.” (Lu Xun, 2007: 6). Pernyataan-pernyataan itu menjadi lebih jelas maknanya ketika tokoh Aku membaca sebuah catatan. “Aku mencoba untuk mencari, tapi sejarah yang tersaji di hadapanku tidak kronologis. Yang tertulis secara acak di setiap halaman dipenuhi kata-kata: ‘Kebajikan dan Moralitas’. Karena tidak dapat tidur juga, maka aku membaca dengan teliti selama separuh malam sampai aku mulai melihat kata-kata di antara garis-garis, seluruh buku telah dipenuhi dengan dua kata: ‘makan orang’. (Lu Xun, 2007: 7)

Dengan demikian, cerpen Lu Xun yang berjudul ‘Catatan Harian Orang Gila’ dapat dikatakan sebagai perwujudannya protes pengarang terhadap kondisi negeri Cina pada masa itu dimana para penguasa lebih mementingkan dirinya sendiri atau egois sedangkan rakyatnya berpikiran feodal di tengah-tengah ketamakan para penguasa itu. Lu Xun dengan lantang menyuarakan sindirannya melalu sastra dengan menggunakan kata-kata kanibal (makan orang) dan seekor serigala bentuk para penguasa yang tak ubahnya seperti kata-kata itu. Karya Lu Xun yang fenomena ini menjadi sebuah perbandingan pada karya-karya sastra dunia lainnya seperti Pramoedya Ananta Toer dari Indonesia, Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol dari Rusia, Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi dari Mesir dan sebagainya.

Daftar Pustaka
Lu Xun. 2007. Catatan Harian Orang Gila. Jalasutra: Yogyakarta

2 komentar:

tika mutia zahrah mengatakan...

terima kasih atas tulisannya yaa...
sangat mencerahkaan..:)

Salsabiela Akhadiah mengatakan...

Pingin baca bukunya kak