31 Mei, 2009

"Ngerumpi" ala Teater Sahita, dalam 'Gathik Glinding'

Oleh: Syahrul Qodri



Pagi itu, ibu kostku menggedor pintu kamar teman sebelah, tapi kebetulan teman yang punya kamar sedang tidak ada di tempat. Mungkin ia ingin menagih pembayaran kost, tapi berhubung teman itu tidak ada, ia mengomel tidak karuan. Bersamaan dengan itu, seperti biasanya pada waktu yang relative sama, pedagang sayur keliling melewati gang sempit depan kost dan mengundang kehadiran dari beberapa ibu-ibu tetangga yang ada di sekitarnya.

Ocehan ibu kostku terus berlanjut bersama taman-teman sebayanya, menyalahkan anak kost yang sering kali telat membayar kewajibannya, dan tidak jarang banyak pula anak kost yang melarikan diri, dan membuat masalah-maslah yang meresahkan. Pembicaraan ibu-ibu itu merambah ke masalah anaknya masing-masing yang sekolah atau kuliah, lalu membutuhkan biaya sekolah. Ibu yang satu menimpali dengan berharap pada suaminya yang akan datang dari jauh. Ibu yang lain bicara soal anak gadisnya yang ingin menjadi artis sinetron, atau jadi model iklan, disambut dengan ibu yang lain dan membahas masalah warisan, sementara ibu yang lain…, dan ibu yang lainnya lagi…,

Aku terpaku di kamar mendengar celotehan ibu-ibu itu sambil menghisap rokok dalam-dalam, meneguk segelas kopi, mendesah pelan, lalu pikirku pun melayang entah ke mana.

Serasa bermimpi, tiba-tiba aku hadir di sebuah pesta sederhana disuguhi oleh nikmatnya minuman hangat. Aku mengambil segelas kopi dan meneguknya perlahan. Pandangan mata liarku tertuju pada dua sosok gadis cantik luar biasa. Matanya begitu indah, dihiasi kulit wajah yang jernih, rambut bergelombang tertata, lalu dengan senyum lembut menawarkan beberapa bungkus rokok. Ia mengenakan baju merah menyala. Di dadanya tertulis Jarum Super. Dalam hati kubergumam, sungguh sempurna Tuhan menciptakan permempuan-perempuan ini.

Saat khayalku kian jauh melayang, tempak lagi wajah ibu-ibu rumah tangga yang sedang melakukan aktivitas-aktivitas keseharian. Tapi ibu-ibu yang ini hanya lima orang, memiliki kostum dan karakter yang berbeda dengan ibu kostku atau teman-teman sebayanya itu. Mereka menjalani aktivitasnya sambil nembang karawitan Jawa yang hingga kini masih mereka hidupkan, meski kadang tembang yang didendangkan terdengar unik dan lucu, mengundang gelak tawa yang luar biasa.

Tembang-tembang yang didendangkan terus berlanjut diiringi tarian-tarian sederhana yang unik dan dibarengi irama musik yang berasal dari lantunan suara-suara nyaring mereka sendiri. Meski badan sudah sedikit berisi, dan usia sudah kian menua, namun gerakan tarian itu begitu kompak, goyangan tubuh mereka begitu lembut, lemah gemulai, layaknya penari puteri remaja cantik yang mampu menyedot perhatian siapa saja yang melihatnya.

Aku masih menikmati batangan rokok dan segelas kopi di sampingku, sambil memperhatikan sekelilingku yang semakin riuh oleh gelak tawa. Gelak tawa yang kian riuh itu ternyata berasal dari orang-orang yang cukup terkenal, seperti Butet, Jaduk, Mas Ong, Mas Besar, para aktris idola dari Teater Garasi, dari komunitas teater dan tari lainnya, dan banyak lagi, hampir 500-an orang melihat ibu-ibu itu menari dan nembang.

Seperti ibu-ibu rumah tangga lainnya, mereka kembali ngerumpi, membicarakan banyak hal, dimulai dari suami masing-masing yang mereka banggakan. Seorang ibu menunjukkan kemampuan suaminya yang menjadi Ketua RT. Sosok Ketua RT adalah pejabat yang sangat berjasa meski berada di tingkat level bawah. Ocehan-ocehan itu tentu nyerempet kepada nuansa ataupun praktek politik yang mereka lakukan, seperti membantu orang-orang terdekat, memberikan sumbangan atau lainnya dengan tujuan untuk “menarik simpati” agar terpilih menjadi ketua RT, persis seperti yang dilakukan oleh para calon legislative yang memberikan sumbangan secara besar-besaran dan habis-habisan kepada masyarakat agar mereka terpilih. Mungkin beruntung bagi yang terpilih, tapi bagi yang tidak, tentu mengalami beban yang luar biasa, sehingga tidak sedikit yang mengurung diri di RSJ. Atau bisa sama layaknya elite politik kita di level pemerintahan yang bertarung pada taraf “pencitraan” semata, tanpa esensi kerja yang lebih nyata untuk memperbaiki bangsanya.

Harus diakui, ini adalah sebuah rumpian yang cerdas, mendidik, dan tentunya sarat dengan makna yang bisa ditangkap melalui berbagai perspektif dan bisa diterjemahkan dengan berbagai interperatif, serta tidak luput pula mengundang gelak tawa, menghibur siapa saja yang mendengarkan ocehan mereka.

Ambil satu contoh ocehan mereka yang membahas masalah “burung”. “Burung” bisa diartikan sebagai “burung” sesuai dengan realita yaitu binatang yang bisa terbang, bersayap, dan berekor, karena memang mereka tengah memegang burung-burung yang terbuat dari kertas. Tetapi burung yang dibicarakan menjadi “aneh” ketika mereka menyadari, pada burung–burung itu terdapat gambar-gambar, atau ada tulisan-tulisan, lalu bentuk burung yang besar dan kecil, ada yang panjang dan pendek, ada yang kaku dan lemes, ada yang suka kelayapan terbang kesana-kemari, bahkan ada yang kejam dan sadis.

Hal yang lebih aneh bila kata “burung” itu dilekatkan pada kata “suami”, menjadi “burung suamiku”, lalu berkembang menjadi pemikiran, bagaimana menjaga burung itu agar tidak terbang kemana-mana, dan hanya boleh hinggap di satu tempat saja. Pernyataan-pernyataan tentang “burung” terlontar dan mengalir, membuat banyak orang tersindir, poligami dan polihandri menjadi satir, namun tentu saja bisa menimbulkan ledakan-ledakan yang mengalahkan petir.

Gunjingan terus berlanjut. Kini giliran teman mereka sendiri yang menjadi sorotan. Ada sikap-sikap yang mereka tidak sukai dari temannya yang kini memiliki kelebihan dibandingkan mereka, entah itu berupa materi ataupun kelebihan lainnya. Di satu sisi, gunjingan itu kadang memiliki kebenaran relative jika bersumber pada kenyataan-kenyataan hasil dari pengamatan mereka, atau berangkat dari apa yang mereka rasakan. Kelebihan dan kekurangan itu memang selalu melekat pada setiap manusia, seperti roda yang berputar, kadang bisa di atas, kadang berada di bawah.

Seiring waktu yang terus bergerak, hidup pun merangkak. Usia seseorang kian menua, lalu bergulirlah kehidupan itu menciptakan perubahan-perubahan yang kadang menyenangkan, tetapi juga kadang menyakitkan. Perubahan itu bisa menyenangkan jika apa yang diharapkan bisa tercapai, tapi di sisi lain bisa menyakitkan jika apa yang diinginkan direbut oleh orang lain yang lebih muda, yang lebih mampu, dan mungkin pula lebih menggairahkan.

Ibu-ibu itu semakin deras menunjukkan rasa kecewanya, berharap untuk selalu dapat perhatian dari orang lain, terutama dari orang-orang yang berada di sekitarnya, di lingkungannya, atau mungkin dari bangsanya. Usia yang kian menua, tidak mengharuskan kita untuk meminggirkan mereka. Mungkin yang muda bisa menggantikan posisi-posisi tertentu untuk menciptakan perubahan yang lebih, tapi bukan berarti kita harus mengusir dan mengasingkan mereka, melainkan justru harus banyak menghormati dan belajar bersama menuju ke arah yang lebih baik guna kebaikan dan kedamaian bersama.

Ibu-ibu di depanku itu membuktikannya dengan tampil menari, menunjukkan gemulai tubuhnya, kelembutan gerakannya, serta kecerdasan ocehan-ocehannya, dan sekitar 500-an orang bertepuk tangan riuh menggemakan decak kekaguman buat mereka mereka.

Kembali kunikmati kopi yang masih sedikit tersisa di gelas plastic sambil menyalakan rokok yang tinggal satu biji. Pandangan mataku liar dan tajam mencari gadis yang masih duduk manis di kejauhan sana. Ah, ia masih duduk di situ, dan kecantikan serta keanggunannya membawa fikirku kepada para ibu-ibu yang sedemikian cerdas menungkapkan berbagai peristiwa ‘hanya’ melalui rumpian sederhana.

Dalam hati kubergumam, hari ini mungkin dua gadis itu begitu istimewa, namun entah beberapa tahun lagi, akan digantikan oleh gadis yang lain, dan akan terus begitu. Lambat laun, ia akan menjadi sosok ibu-ibu, usia menua, namun akankah terpinggirkan? Akankah mereka yang begitu sempurna kini akan tersingkir oleh generasi berikutnya? Atau, …? Bukankah sebaiknya kita mencoba memahami fenomena alamiah ini untuk bisa saling mengerti untuk saling mengisi, lalu lahirlah rasa saling menghormati, saling memberi kasih sayang dan tergapainya harapan, dan akhirnya tercipta keharmonisan dan kedamaian bagi semuanya.

Tiga karakter perempuan yang berbeda kucermati hari ini, namun tidak bisa dipungkiri mereka memiliki kesamaan lahiriah, dan “menuntut perhatian kita”, baik dari kalangan muda ataupun tua, kalangan pria muda ataupun bapak-bapak, kalangan pejabat atau rakyat biasa, kelompok kesenian atau pengusaha, dan semua tanpa terkecuali.

Kopi di gelasku kini habis, bersamaan dengan rokok pada isapan terakhir dan kumatikan perlahan. Kutengadahkan kepalaku seraya berbisik kepada Tuhan, betapa Sempurna Engkau menciptakan alam dan isinya dengan berbeda-beda untuk bisa menyatu dalam satu kondisi tertentu dan pada akhirnya akan menghadap pula pada Yang Satu.


Salutku buat pementasan Teater Tari Sahita 'Gathik Glinding' Sabtu, 30 Mei 2009 di Padepokan Seni Yayasan Bagong Kussudiardja Kasihan, Bantul, Yogyakarta.

Sahita merupakan sebuah kelompok teater tari yang beranggotakan lima orang perempuan. Dibentuk tahun 2001 dengan dasar tari, teater dan kemampuan vokal yang baik, Sahita bisa dibilang sangat produktif berkarya, dengan respon yang sangat baik di lingkungan seni pertunjukan maupun masyarakat umum. Berbagai persoalan dari hal-hal yang sederhana serta keseharian yang diangkat mampunya menjadi fenomena yang universal dan aktual. Selain memproduksi karya sendiri, Sahita juga aktif mendukung dan mengikuti berbagai lokakarya dan pertunjukan bersama kelompok kesenian lain, baik dari dalam maupun luar negeri.

Sumber dan artikel terkait:

http://www.facebook.com/events.php?ref=sb#/event.php?eid=87569485905

http://artistmate.com/event/teater-tari-gathik-glindhing-oleh-kelompok-sahita-di-teater-salihar

http://www.tempointeraktif.com/hg/panggung/2009/03/24/brk,20090324-166316,id.html

http://persinggahan.wordpress.com/2009/03/22/gathik-glinding-yang-cerewet/

Tidak ada komentar: